Minggu, 27 Oktober 2024

Aku Tak Ingin Jadi Manusia

Semesta
Jika aku terlahir kembali
Bolehkah aku menjadi seekor ikan
Aku tidak ingin menjadi manusia

Manusia hanya makhluk yang begitu banyak tuntutan
Jika aku gagal
Dunia akan memaki ku
Jika aku jatuh
Semua menatapku penuh ragu

Semesta
Aku lupa apa yang Tuhanku janjikan padaku
Sehingga aku setuju untuk lahir kedunia
Jika hari itu aku tahu
Bahwa hari-hariku akan serumit ini
Aku memilih untuk jadi membiru kaku didalam rahim Ibu

Ibu
Bukankah kau yang meminta pada Tuhan agar aku mengisi hari-harimu
Bukankah waktu ku bayi menangis tiada henti kau buru-buru menimang ku
Bukankah doa baik selalu kau panjatkan setiap sujudmu

Ayah
Mungkin kau ingin aku jadi Sarjana yang berkarir cemerlang
Agar bisa kau ceritakan pada sahabat Karibmu
Bahwa kau miliki anak sesukses itu

Semesta
Ibu dan ayahku terluka
Aku tak seperti harapan mereka
Gagalku yang kesekian kali merobek hati mereka

Perjuangan ku kini hanya tentang bertahan
Bertahan untuk tetap hidup
Bertahan dari rasa bersalah akan gagal ku

Ibu
Rasanya aku ingin berhenti
Sejak doa itu berubah menjadi sumpah serapah
Sejak gagal ku yang berulang
Sejak kelahiran ku menjadi sesal bagimu

Ayah
Anakmu tak pernah membelikan mu hadiah mewah
Anakmu keras sama sepertimu
Tapi, ya
Nyatanya kau menjadi luka pertama bagi anakmu

Semesta
Aku tak ingin lahir menjadi manusia
Bukankah menjadi ikan lebih menarik
Pada akhirnya menjadi santapan lezat di meja makan
Lebih berharga bukan? 



Selasa, 24 September 2024

Peyek Buatan Emak

Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.

Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.

Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.

Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.

”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak, jangan lupa buatkan aku peyek buatan emak yang enak itu," itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.

Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.

***

Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Kupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas.

Turunlah mak Inang dari dalam bus menenteng beberapa buah dus ditangan kiri dan kanannya berisi peyek kacang dan teri yang Ia buat untuk anak lanangnya. Terbayang sudah wajah cucunya yang mirip dengan Ebak. 

Suara bising semakin memekakkan telinga, semua orang berkerumun ingin tahu apa yang terjadi, peyek itu sudah jadi remahan, berhambur mengotori jalanan, warnanya tak lagi seperti golden brown layaknya kata master chef, basah bercampur darah. Mak Inang lirih tersenyum membayangkan wajah cucunya yang mirip Ebak. 


Jumat, 30 April 2021

Titipan Rumah Belanda


Aku adalah karyawan swasta dari perusahaan terbesar di kotaku. Usiaku menginjak angka yang tak lagi muda, 25 tahun adalah usia matang untuk membangun rumah tangga. Tapi karena aku adalah karyawan yang baru saja di angkat menjadi karyawan tetap, maka aku memutuskan untuk menunda pernikahanku, sekalipun aku selalu ditanya, kapan menikah. Menunggu satu sampai dua tahun mungkin bisa, kalau tidak, mungkin pacarku saat ini bukan jodohku jika kami harus berpisah.

Tinggal dikota kecil di pulau Sumatera seperti ini bukanlah hal yang sulit, terlebih aku adalah orang asli Sumatera. Di lingkungan yang sedikit keras tata bicaranya, bukan karena marah melainkan logat bicara orang Sumatera memang seperti itu. Aku Adit, pria bujang yang sedikit tampan dan menawan, keluargaku bilang, aku ini berkarisma.

Menjadi karyawan swasta PT Kereta Api adalah impianku sejak selesai dari bangku SMA. Gaji yang lumayan besar, dan sedikit memiliki nama di daerahku. Siapa sangka diusia 25 tahun aku sudah mampu membeli sebidang tanah untukku bangun istana kecil bersama sang bidadari pendamping hidupku.

Hari ini adalah hari pertama aku masuk kantor, aku bekerja di bagian sarana dan prasarana. Bagian pemberkasan dan berkutat dengan komputer, kadang pula sesekali mengecek diluar lapangan jika diperlukan. Tempatku bekerja cukup luas, hampir 20-25 hektar luas bangunan. Pusat kereta api terbesar di Sumatera Selatan. Tak heran jika tetanggaku terkagum-kagum jika mendengar tempat kerjaku.

Tidak ada kata santai dalam bekerja, semua memiliki pos masing-masing. Tidak terkecuali aku, tempatku bekerja adalah tempat yang terkenal dengan peninggalan penjajah Belanda, termasuk rel kereta yang selalu kulalui saat pulang kerja, wisma rumah singgah para karyawan dari luar kota, termasuk bangunan tua ditempatku bekerja.

Kesan horor begitu melekat di tempatku bekerja, sangat sering kudengar cerita-cerita mistis yang di alami rekan-rekan kantor. Bahkan pernah ada stasiun televisi swasta yang meliput mengenai hal-hal mistis yang di pandu oleh host ternama Tukul Arwana. Namun gagal sebelum liputan di mulai, karena kabar yang kudengar crue begitu banyak yang kerasukan, bahkan sebelum mereka masuk memulai acara. Sampai akhirnya liputan pun batal digelar.

Aku sendiri hanya mendengar cerita-cerita kosong mengenai makhluk tak kasat mata yang sama sekali belum kulihat dengan mata kepalaku sendiri, maka dari itu aku hanya menyebutnya cerita kosong. Dan aku sama sekali tidak ingin melihat atau diperlihatkan.

Senin, Januari 2018 

Langit begitu cerah, rutinitas padat di hari senin siap menjadi tugas di pagi hari sampai larut malam, karena jadwal giliran lembur satu minggu kedepan telah menanti dengan lembaran kertas yang berkibar menghadap komputer yang sudah tua.

Waktu menunjukkan pukul 20:00, aku dan Doni rekan kerjaku masih sibuk dengan lemburan, ruangan begitu dingin karena memang memakai pendingin ruangan. Beberapa kali kudengar kerucuk dari dalam perutku yang memanggil untuk segera di isi. 
"Bro aku mau keluar nih, beli makanan, mau nitip nggak?" Tanyaku pada Doni yang masih sibuk dengan kerjanya.
"Boleh deh, nasi ayam aja ya." Sahutnya tanpa menoleh kepadaku.
Aku pun berlalu menuju keparkiran, yang jaraknya lumayan jauh dari kantorku. Begitu lengang dan hening, hanya ada lampu dibeberapa titik didepan teras kantor lain yang sudah sepi. Ku dapati ada pak Joko, satpam yang juga sedang sift malam lewat di depan kantor sambil memungut daun-daun kering. 
"Udah malem pak, ngopi aja dulu sambil jaga." Tegurku karena merasa aneh malam begini masih memungut sampah. Pak Joko menoleh kearahku sambil tersenyum.
"Iya mas, nanti didepan pos saja." Jawabnya, dan aku meninggalkannya menuju parkiran.

Betapa terkejutnya aku ketika dari jauh kudapati Pak Joko duduk di pos satpam sambil merokok dengan santainya.

Ragu-ragu aku mendekati pak Joko yang asik dengan batang rokok yang mengepulkan asap, karena mau atau tidak aku pun harus melewati dia sebelum aku sampai di parkiran.
"Pak Joko mari pak." Sapaku dengan hati-hati. 
"Mari mas, mau kemana? Sudah selesai lemburnya?" Jawabnya tanpa ada yabg patut dicurigai.
"Belum pak, ini lagi mau cari makanan keluar, mari." Jawabku dengan meninggalkan begitu banyak pertanyaan. Siapa yang ada di teras kantor yang baru sebelumnya kulihat. Yang mana Pak Joko yang sesungguhnya. Kutinggalkan dia yang masih menikmati rokoknya menuju halaman parkir untuk mengambil sepeda motorku, siapapun yang kulihat barusan selagi Ia tidak menggangguku tak apalah, muncullah sesuka hati kalian. Sekilas ucapan itu yang terbersit didalam hatiku.

Hanya ada lima buah sepeda motor yabg terparkir dihalaman, hanya ada sedikit yang lembur malam ini. Aku segera melajukan sepeda motorku keluar menuju rumah makan terdekat. Dengan memesan dua bungkus nasi ayam untukku dan Doni.

***
"Nih bro nasinya, ayuk makan." Sambil mengeluarkan bungkusan nasi dari dalam kantong plastik.
"Ntar aja bro, kau makan aja duluan, kerjaanku masih tanggung nih, dikit lagi". Jawab Doni yang masih sibuk dengan kertas kosong yang entah mau Ia apakan.
"Ya udahlah, aku duluan nih." Sambil menyantap makananku dengan lahap, karena memang aku sudah sangat lapar.
"Bro titip dulu ya, aku mau ke toilet sebentar." Doni meninggalkanku yang masih sibuk dengan butiran-butiran nasi.

Sudah setangah jam Doni tidak juga keluar dari toilet, tapi dari dalam toilet terdengar suara keran air yang terus mengalir. Dari aku makan sampai aku kembali melanjutkan kerjaku Doni tidak juga keluar. Kudekati meja kerjanya, kulihat satu persatu kertas yang Ia kerjakan dari tadi, hanya ada kertas kosong yang berserakan.

"Deeeerrrtt" (suara notifikasi pesan)
"Bro sory ya, tadi aku kekantor staf depan, Pak Ijal manggil minta data lokomotif, nasinya entar aku ambil, 15 menit lagi aku otw". Pesan dari Doni baru saja membuat kedua mataku terbelalak menatap ponselku yang menjadi saksi kengerian malam ini. Pada jam segini mereka sudah tidak tahan untuk muncul dan mulai menerorku dengan rupa manusia yang kukenal. Kuremas rambut kepalaku, tiba-tiba kepalaku sakit dan berdenyut-denyut.

Kulangkahkan kakiku yang terasa berat menuju pintu toilet yang sangat dekat dengan meja kerjaku yang hanya berjarak 2 meter. Suara keran air masih berbunyi, tapi dengan volume suara lebih sedikit. Kubuka gagang pintu dengan sangat hati-hati. Betapa kagetnya aku saat dibuka tak ada siapapun didalam, lantai toilet juga kering, tak ada bekas basah air seperti baru selesai digunakan. Segera kututup pintu toilet dan mengucap asma Allah lalu terduduk di bangkuku. 

Jantungku berdebar lebih cepat dari detakan manusia normal, tak berirama, seperti suara musik orgen tunggal di kawinan tetangga, berdebar dan sangat kencang. Kubaca surah pendek apa saja yang aku hapal. Sehingga beberapa detik saja debaran jantungku terasa normal kembali.

"Asslamu'alaikum," Suara Doni mulai memasuki ruangan yang begitu hening
"Wa'alaikumsalam," jawabku dengan penuh rasa bahagia mendapati kehadiran Doni.
"Kok pucet bro, udah makan belom," Doni yang menangkap hal tak biasa dari wajahku yang masih trauma.
"Udah bro, kecapekan aja ini." Aku yang tidak ingin bercerira sekarang, karena ini masih pada wilayah mereka, aku tidak ingin menyebut-nyebut mereka diwilayahnya.
"Aku ambil ya nasinya, makasih ya, aku balik lagi ke sana, kerjaan masih banyak." Tanpa menunggu aku menjawab Doni berlalu dari balik pintu yang hanya meninggalkan siluet tubuhnya dibawah lampu teras. Bersamaan dengan kepergian Doni kudapati sosok yang melewati pintu sambil melihat kearahku yang hanya diam mematung.

Jantungku berdetak tak berirama, rasanya aku ingin pingsan seketika, setelah itu bangun lalu berada di kamarku, hanya itu saja pintaku. Namun malam begitu panjang, lemburku masih belum selesai. Ada sisa waktu tiga jam lagi untuk segera kembali kedunia indahku. Keluar dari tempat yang benar-benar membuatku berpikir diluar nalar. Selama ini aku begitu santai mendengar cerita kosong itu, malam ini cerita itu menjadi sebuah catatan panjang yang akan aku ceritakan kelak kepada anak cucuku, betapa hidup kita sangat dekat dengan makhluk gaib.

Jam menunjukkan pukul 21.12 aku mencoba mengalihkan segala perasaan takut yang ada, ingin rasanya hanya fokus pada komputer di depan mata tanpa menoleh kesana kemari, ruangan begitu hening, padahal pendingin ruangan kumatikan agar tak menambah hawa dingin yang masuk ke sela benang kain bajuku. Tapi rasa penasaranku lebih besar dari pada rasa takutku, mataku begitu berani melihat sekeliling ruangan, memutar dari segala sudut dan arah. Namun penyesalan tiada artinya ketika mataku menangkap sosok yang begitu kecil, seperti anak yang berusia 4-5 tahun. Ia telanjang dada memainkan pulpen yang berada di meja kerja Doni, yang jaraknya hanya 1 meter dari meja kerjaku. Ia memutar kepalanya 180 derajat dari putaran kepala manusia normal, kemudian menghempaskannya ke meja, sambil tertawa cekikin, Ia lakukan terus berulang-berulang. 

"Allahuakbar, Allahuakbar," berkali-kali ku ucapkan bahwa tidak ada makhluk yang lebih besar kuasanya selain Allah. Hany kalimat itu yang mampu aku ucapkan dengan begitu lantang. Namun bukannya pergi, makhluk kecil itu menatapku penuh dengan amarah, matanya merah menyala, tubuhnya berubah menjadi hitam legam, mencengkeram kemaluannya lalu melompat ke atas meja lalu kembali tertawa cekikikan.

"Kikik kikik kikik, temani aku, main sama aku," Ia terus tertawa namun tetap dengan mata melotot menatapku yang terus mengucapkan takbir. Tak terasa bulir bening jatuh dari pipiku, entah aku menangis karena apa, aku hanya menerka-nerka, mungkinkah aku terlalu takut, atau aku sedang merasakan kekuasaan Allah, bahwa makhluk lain selain manusia memang benar adanya, bahkan mereka hidup saling berdampingan. 

Takbir yang terus ku ucapkan tak berhenti keluar dari bibir ini, hanya kebesaran Allah yang mampu mengalahkan segalanya. 
Makhluk kecil itu masih tertawa di atas meja sambil menari-nari, namun perlahan Ia mulai turun dari meja lalu beringsut masuk kekolong meja, lalu hanya terdengar sesenggukan dari kolong. Mungkinkah makhluk itu mulai lelah menggangguku, atau Ia sedang menyusun siasat lain. 

Tak ada lagi suara tawa cekikin, hanya ada suara sesenggukan seperti orang menangis. Ku mulai berpikir realistis dalam keadaan genting seperti ini, ku atur napas lalu kusetel alunan ayat-ayat Al-Qur'an dari dalam komputerku, dengan suara nyaring melalui spiker kantor. Aku berpikir dengan begini mungkin mahkluk itu akan takut lalu berhenti menampakan diri mereka. Samar kudengar lalu suara tangis mulai menghilang. Aku merasa aman untuk saat ini, namun siapa sangka, ternyata ketenanganku hanya berlaku untuk 5 menit saja, hanya cukup untuk mengatur napas dan detak jantung. 

Ternyata, lantunan yang kusetel berulang-ulang tidaklah membuahkan hasil, aku hanyalah manusia sombong dan angkuh yang hanya mengandalkan firman Allah tanpa mengamalkannya. Surah Al-Baqarah mengalun dengan indah, diiringi tiupan angin kencang yang menghentakan jendela dan pintu ruangan. Entahlah, hanya di sini saja angin itu mampir, atau juga sama dengan ruangan di seberang sana, tempat Doni berada. Aku hanya diam dalam ketakutan. Entah ini hanya mimpi, atau kenyataan, namun hanya satu pintaku, aku ingin keluar dari ruangan ini. Hanya itu.

Surah Al-Baqarah masih mengalun, angin pun masih setia mengiringi alunannya. Kudengar dari balik tembok ada yang mencakar dinding, lalu seketika hantaman palu terdengar berkali-kali, persis seperti orang yang sedang menukang. Suara semakin dekat, lalu seperti tepat di telinga kiriku. Lampu seketika padam, alunan ayat suci tak lagi kudengar, hanya ada gelap dan suara palu dihantamkan kedinding.

Sekilas terlintas bayangan wajah kedua orang tuaku, wajah mereka yang sedikit keriput, senyum menggurat didahi keduanya seolah mengatakan "Nak pulanglah". Yang terlintas dibenakku hanyalah bagaimana jika aku tiada dan mati konyol ditempat ini. Jauh sudah pikiranku, membayangkan keduanya yang sudah renta.

Gelap, sunyi, tak ada suara apapun disekiling. Bahkan jangkrik tak ingin muncul walau hanya sekedar menimbulkan suara. Hanya aku yang merasa tubuhku semakin mengecil dan menciut. Aku sudah mulai lelah, benar-benar lelah.

POV Doni

Lembur kali ini aku harus bersiap dengan segala penampakan yang ada, seperti malam-malam sebelumnya, segala jenis demit bermunculan tanpa ampun. Selagi tak saling mengusik satu sama lain, tak ada masalah. Namun entah kenapa malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Aku di buat begitu takut dengan kemunculan mereka. 

Pukul 20.00 perutku begitu lapar, kebetulan Adit menawarkan aku untuk makan malam dan dia yang membeli nasi bungkus keluar. Dengan senang hati aku mau saja nitip nasi bungkus. Pekerjaanku juga masih begitu banyak. Selang 10 menit kepergian Adit Pak Ijal manager memanggilku untuk membantu mengerjakan pendataan di ruang officenya. Kantorku dengan ruang pak Ijal berjarak 500 meter dengan disekat ruang-ruang dan disekeliling ditanami pohon mangga.

Minimnya lampu di teras kantor membuat mataku sedikit harus dilebarkan untuk melihat jalan yang begitu gelap.
"Astaghfirullah", spontan aku mengucap ketika kakiku tersandung sesuatu, yang seperti tangan menyentuh ujung sepatuku. Ku lalui setiap sudut ruangan yang begitu sepi, 500 meter rasanya seperti jauh sekali, cuaca dingin berubah menjadi hawa panas.

Dari ruang area no smoking tempat parkirnya beberapa kepala kereta berjejer ku dapati sosok yang tengah sibuk membenahi bagian bawah kereta, sepintas sosoknya seperti karyawan OS, aku berjalan kearahnya hendak bertegur sapa, sepuluh langkah hampir mendekatinya tiba-tiba aku mundur perlahan, menjauh dan melupakan untuk menegurnya. Sosok itu berdiri dari kolong kereta dan tanpa kepala, lalu mengguyur tubuhnya dengan oli bekas, dengan mengeluarkan suara seperti sapi disembilih.

Akhirnya aku bisa sampai dan segara bertemu pak Ijal, aku sampai lupa untuk memberi tahu Adit bahwa aku sedang bersama pak Ijal. Kukirimkan pesan kepadanya untuk nanti segera mengambil nasi bungkus keruangannya, karena aku memang sudah sangat lapar. Pekerjaan yang begitu banyak membuat aku semakin lapar.
"Pak saya permisi dulu mau ambil nasi sama Adit, tadi saya titip nasi soalnya sama dia," Izinku pada pak Ijal
"oh iya silahkan, nanti kesini lagi ya" aku segera meninggalkannya.

Perjalananku menuju tempat Adit berada berjalan mulus, tak ada hambatan atau kemunculan para medi itu. Tapi yang anehnya ketika aku sampai ditempat Adit, kudapati Ia dengan wajah pucat pasi, Ia seperti melamun. Tapi untung saja ketika ditanya dia masih bisa menjawabku. Kupikir tak ada yang perlu di khawatirkan. 
Aku meninggalkannya seorang diri, segera kembali ke Pak Ijal dan menyelesaikan pekerjaanku agar bisa segera pulang dan tidur dengan nyaman.

Namun tiba-tiba angin bertiup begitu kencang, pohon mangga bergoyang begitu kuat. Mataku sampai kelilipan oleh debu, lampu seketika padam. Aku panik namun mencoba untuk menenangkan diri sendiri dalam siatuasi yang sangat tidak di inginkan. Suara riuh angin begitu sombong hilir mudik ditelingaku. Bersamaan dengan suara angin terdengar langkah kaki dengan menggunakan sepatu high hels. Tubuhku meremang, menggigil tak karuan, ingin berlari dalam gelap, namun kaki seperti tertahan. Dalam hati hanya bisa mengucapkan nama Tuhan. 

Jelas, sangat jelas terpampang sosok putih berambut panjang tergerai dengan mata merah menyala bergelantung dipohon mangga dengan posisi kepala dibawah. Berayun-ayun memainkan rambutnya yang kusut. Di gelapnya malam tanpa ada penerangan sedikitpun, Ia begitu nampak terlihat dengan gaun putihnya dan mata merah menyala. Aku ingat ketika kecil dulu, ustad mengajiki mengajarkan bahwa tidak ada yang lebih besar dari Allah, semua yang ada dimuka bumi ini adalah ciptaanNya. semua jin, hewan, tumbuhan dan manusia adalah milik Allah. Berlindunglah hanya pada Allah, tak ada yang perlu ditakuti selain takut hanya pada Allah.

Kuberanikan diri mengambil apa saja yang ada disekelilingku, batu adalah benda pertama yang kupegang dalam penglihatan yang minim. Dengan Bismillah kulempar kuntilanak itu dengan batu ditanganku.
Namun bukannya pergi Ia malah tertawa cekikikan terbang mendekatiku, begitu dekat, sampai wajahnya bertemu dengan wajahku. Hanya berjarak 2 senti saja. Lalu semuanya kembali gelap, hening, tak ada suara apapun. Malam ini membuatku benar-benar gila. 

***

Kepala begitu sakit, suara kembali riuh, ada yang menepuk-nepuk pipiku dan memanggil namaku. "Adit, bangun, ayo bangun dit". Oh tidak sejak kapan makhluk itu tahu namaku. Ingin sekali aku membuka mata dan memastikan siapa yang memanggilku. Suaranya seperti aku kenal, seperti suara bapak, dan ya di iringi suara tangaisan ibu. Kenapa aku, apa yang terjadi padaku, aku mendengar semuanya tapi mataku sulit untuk dibuka. Apa aku sudah mati konyol?

Suara itu masih kudengar, semakin ramai, langkah kaki mondar mandir terdengar jelas, hingga suara decit pintu yang dibuka tutup aku tahu itu. Namun mataku tetap tak mau terbuka. Aku menyerah, mungkin aku sudah tiada, namun aku tak menyadari itu.

Tidak, aku bisa merasakan genggaman erat tangan ibu, menyentuh setiap jari jemariku, lalu ibu menciumnya berkali-kali. Aku tahu ini adalah tangan ibu. Ingin kubalas setiap kecupannya, tapi aku tak mampu. 
Lalu tangan ibu kembali menyentuh dahiku, mengusapnya seperti hendak menidurkanku. Sangat damai, tapi aku tetap ingin bangun. Aku berusaha membuka mataku, menggerakkan jariku, lalu memeluk ibu.

Samar-samar mataku melihat sekeliling, mataku rabun, hanya ada bayangan yang berseliweran, lalu tubuh ibu menghambur memelukku erat, terisak tumpah air matanya.
"Ya Allah terima kasih anakku kembali padaku," ucap ibu berkali-kali
Ada banyak pertanyaanku, kenapa? apa yang terjadi?

Tiga hari setelah keluar dari rumah sakit aku begitu syok dengan cerita rekan kerjaku ketika kami lembur bersama. Aku ditemukan pagi hari dalam keadaan pingsan di wisma 13 dalam keadaan baju robek. Lalu di larikan kerumah sakit. Tubuhku juga memar disana sini. Dan hal serupa juga di alami Doni rekan kerjaku. Bedanya Doni hanya ditemukan dalam keadaan pingsan ketika malam hari saat lampu padam. 

Kejadian demi kejadian yang di alami bukanlah mimpi. Semuanya begitu jelas teringat. Sampai menjadi kisah untuk anak cucuku nanti. Pengalaman yang hampir saja merenggut nyawaku. 

Satu hal yang aku yakini, hidup ini sangat berdampingan dengan makhluk lainnya. Namun setiap makhluk hanya memiliki satu penciptanya yaitu Allah SWT, takutlah hanya pada Pencipta, Berlindunglah hanya padaNya.

#The End

Senin, 04 Mei 2020

Istriku Cerewet

"Sarapannya kok nggak di habisin, nggak selera ya lauknya". Ucap istriku yang masih sibuk dengan piring kotor yang sedang di bilasnya. 

"Nasinya kebanyakan". Jawabku singkat. Lalu meninggalkannya dan bermain dengan buah hati kami yang masih kecil.

"Mau kopi nggak yang?" Tanya istriku setelah selesai menyusun piring pada tempatnya.
"Boleh." Kataku seadanya
"Yang tadi ada berita di tv soal begal yang di amuk masa sampai mati, sampe di bakar hidup-hidup." Cerita istriku dengan mimik muka serius.
"Wajarlah kalo begal, aku aja geram lihat kelakuan mereka." Tanggapku lalu mengangkat kopi dan mencoba meminumnya tapi meleset dari bibirku karena panas, kopi itupun tumpah di atas meja.
"Ya Allah yaaang, makanya hati-hati, tau kopi panas langsung di minum gitu, kotor tu taplak mejanya." Sambil membersihkan meja istriku masih mengomel.
"Namanya bukan ayangmu kalo nggak numpahin makanan atau minuman." Candaku agar Ia tersenyum.
"Jawab aja kalo di bilangin." Dengan wajah datar menahan senyum.

Hari-hariku berlalu dengan biasa saja, masih dengan istri yang selalu mengomel di pagi hari, siang hari, bahkan sebelum Ia memejamkan mata masih tetap dengan omelan-omelannya yang entah memang benar karena kesalahanku atau dia memang sedang ingin mengomel. Sekecil apapun kesalahan itu akan membutuhkan waktu lama untuk mendengar ocehannya yang tak berkesudahan.
Entah kenapa semenjak menikah istriku malah lebih sering mengomel, padahal pekerjaan rumah masih tetap aku bantu jika aku sempat untuk membantu, mengasuh buah hati juga aku lakukan saat pulang bekerja. Kurasa tak ada kesalahan fatal yang aku lakukan semenjak kami menikah. Tapi istriku masih saja mengomeli hal-hal kecil yang aku lakukan.

Selain ngomel, istriku juga seorang komentator yang handal. Saat aku bekerja di belakang rumah, membuat meja atau kursi istriku akan mendekat dan mengatur semua pekerjaanku, memberi saran yang sebenarnya tidak cocok dengan ideku. Kadang Ia akan tahan duduk lama memandoriku bekerja sampai selesai.

Aku lelah dengan istriku, mencoba mengubahnya agar menjadi istri yang pendiam. Atau mengurangi kadar kosa kata yang terus keluar dari mulutnya.

"Yang, makan yuk aku laper nih." Ajakku saat Ia sedang mengotak atik hapenya.
"Makan bareng yang?"
"Iya, hayuk." Lalu Ia segera bergegas mengambil sepiring nasi untuk berdua dengan lauk pauknya.

Kelebihan istriku adalah Ia mau hidup apa adanya dengan lelaki biasa sepertiku, mau makan sepiring berdua, kadang makan dengan dadar telur saja dia mau. Kami menikmati itu saat sedang makan berdua. Istriku adalah wanita yang manja, masih seperti anak-anak saat dia sedang bersamaku. Aku hanya belum menemukan jawaban kenapa istriku sering mengomel semenjak menikah. Cerewetnya itu yang membuatku geram. Selain itu aku sangat mencintainya.

"Yang motormu toh di benerin, kok starternya nggak nyala gitu, aku kalo mau kepasar kan jadi susah, pake engkol segala aku kan nggak bisa." Keluh istriku saat mau pergi kepasar belanja bulanan.
"Iya nanti kalo ada duitnya." Jawabku seadanya.

Sering kami berdebat soal kecerewetannya yang tak ketulungan itu. Pernah kami bicarakan berkali-kali. Namun istriku selalu mendadak baperan, kadang menangis di kamar jika aku tegur saat Ia mengoceh sepanjang hari. Sampai aku tidak tahu harus melakukan apa lagi.

"Yang coba diam dulu, kamu kok ngoceh terus, nggak capek apa." Sentakku saat kami sedang duduk santai di depan tv, dan dia terus mengomentari orang-orang di balik layar.
"Lah kenapa, nggak serulah kalo nonton diem aja."
"Kamu apa tv yang mau di tonton." Jawabku. Diem dulu, berisik kamu tu. Ngoceh teruas" Jawabku kesal dengan wajah marah tanpa melihat wajahnya. Ia berlari ke kamar dan menangis. Ku biarkan saja Ia menangis sampai tertidur untuk memberikan pelajaran padanya.

Besoknya Ia memberikan bekal sarapanku seperti biasa, tapi tanpa sepatah katapun. Lalu mencium tanganku sebelum berangkat bekerja dan menutup pintu rumah, mungkin Ia masih kesal padaku karena tidak membujuknya semalam.

Pulang kerja aku di sambutnya seperti biasa, tapi masih tidak mengatakan apapun. Ia menawarkanku makan lalu pergi membuat kopi. Aku mendekatinya dan memeluknya untuk meminta maaf. Ia tersenyum dan mengatakan.
"Nggak apa-apa."

Sejak saat itu istriku tidak banyak bicara lagi, Ia bicara seperlunya saja. Namun perhatiannya masih tetap sama. Hanya kosa katanya yang semakin berkurang. Aku bersyukur dengan keadaan ini, tapi aku merasa rindu dengan ocehannya. Ah, kemarin aku geram dengan kecerewetannya, sekarang malah rindu. Biarlah, hidupku jadi lebih tenang dan damai. Istri yang aku idamkan.

Dua minggu berlalu, istriku masih tidak banyak bicara, aku melalui hari-hariku dengan sangat tenang. Ia juga sepertinya menikmati hari-hari itu. Tapi wajah istriku nampak pucat, sepertinya Ia sedang sakit.
"Kamu kenapa yang?" Tanyaku khawatir
"Nggak apa-apa, mungkin capek aja, aku kayaknya mau tidur cepet yang." Jawabnya lalu pergi kekamar, dan aku biarkan Ia untuk istrirahat lebih dulu.

Besoknya tak ada sarapan yang Ia buatkan, ku intip di kamar Ia masih tidur dengan selimut tebal, kudekati dia, kusentuh keningnya terasa dingin sekali, wajahnya pucat pasi. Kubangunkan dia perlahan agar aku bisa membawanya berobat kerumah sakit. Namun dia tak bergeming.
"Yang, bangun yang, kita berobat yuk." Ajakku sambil menggoyangkan tubuhnya. Masih tak ada jawaban.
Aku mulai khawatir dan was-was. Kusentuh setiap jari-jarinya, terasa dingin sekali. Kulitnya putih pucat, tak kutemukan denyut nadinya. Aku tersentak, diam di sisi tempat tidur, air mataku berlinang tanpa suara tangis. Begitu sesak, denyut jantungku berdetak lebih cepat. Hampa, tak ada kehidupan.
"Yang, jangan main-main, ayo bangun. Buatkan aku sarapan." Desakku setengah tak waras. Istriku diam tak mengatakan apapun.
"Bicaralah yang, pagi-pagi jangan bercandalah." Ungkapku dalam tangis tersedu-sedu.

Istriku diam, diam untuk selamanya, tak ada yang Ia tinggalkan, suara cemprengnya tak ada lagi, ocehan konyolannya hilang tak berbekas, Hanya ada rindu pada ocehannya yang membuat ramai seisi rumah. Suara yang tak dapat lagi kudengar, omelan-omelan yang membuatku gila kini membuatku semakin gila karena merindukannya.
Ku buka hape istriku, ada catatan penting di gawainya dengan tulisan.
"Yang, cintai kekuranganku, aku memang cerewet, tapi jika aku tak ada lagi disunia ini kau akan rindu padaku. Jika kau minta aku untuk diam, aku akan diam. Menjadi sosok wanita lain dalam hidupmu. Bukan menjadi diriku sendiri. Inilah aku, wanita cerewet yang pernah kau cintai."

Berlinanglah air mataku membacanya, meminta istriku untuk diam, tapi bukan diam untuk selamanya. Secara tak kusadari, aku meminta istriku untuk menjadi wanita lain, wanita yang aku inginkan, bukan menjadi dirinya sendiri. Kusadari, kekurangannya hanya satu, tak bisa berhenti bicara. Bukan berarti aku harus menyuruhnya diam, melainkan menuntunnya untuk bicara seperlunya tanpa melukai hatinya.

Bahkan saat Ia sakitpun tak ingin mengatakannya padaku. Tak ada lagi yang mengoceh di pagi hari seperti burung beo, memandoriku bekerja seharian. Rumah ini menjadi sepi hening. Hanya ada sisa rindu dua minggu yang lalu sebelum istriku berubah menjadi wanita lain.


Minggu, 27 Oktober 2019

Luka Liku Lalu

Hujan rintik di luar jendela masih berangsur turun perlahan bersama para kawanannya membasahi lantai teras rumah dengan di iringi percikan pias dari jendela. Ada sepasang mata sayu memandang keluar menatap kosong jalanan yang lengang, hanya ada suara angin dan rintik hujan yang berebut ingin di dengar.
Wajah sayu itu masih dalam tatapannya yang kosong, sesekali memejamkan matanya dalam-dalam, memaksa untuk tidak mengingat, melawan untuk tidak kembali, namun semakin Ia memaksa, maka semakin sakit pula dadanya. Semakin lama Ia memejamkan matanya bersama itu pula air mata itu jatuh, bahkan lebih deras dari rintik hujan. Sesenggukan Ia menangis, meratapi yang telah terjadi. Suara angin pecah oleh tangisnya yang tanpa suara.

Lima tahun lalu, ketika Ia bersembunyi dari dosa besar yang semua orang tidak pernah tahu, luka dan derita yang tidak pernah Ia ceritakan, luka yang menyayat, peristiwa yang tidak pernah Ia bayangkan. Melawannya sendirian. Dosa yang membawa derita, masih menghantui sampai mata sayu itu terpejam lalu terkubur dalam tanah menerima hukuman atas perbuatannya. Dua tahun lalu, saat semua yang indah merenggut kehidupannya. Lalu meninggalkannya bersama derita. Ia tidak ingin mengingat semua, namun hujan akan selalu datang membawa Ia kembali pada kenangan.

"Aku mencintaimu, biarkan kisah kita menjadi satu, untuk kesekian kalinya, biarkan kita menyatu". Bisikan tepat ditelinga kiri memecah keheningan malam yang sunyi. Ciuman bertubi-tubi terus menghujani wanita cantik berambut ikal dengan hidung bertulang sempurna, mata bulatnya terpejam perlahan, bulu mata lentiknya ikut turun mengikuti irama mata yang terkatup, bibir bawahnya sesekali Ia gigit perlahan. 
"Karena kita saling memiliki, tidak akan meninggalkan satu sama lain". Suara lembutnya menyahut perlahan.
Lelaki tampan dengan kumis tipis itu memeluk erat si wanita erat. Seakan tak ingin melepaskan walau hanya sesaat.
"Nur, aku akan segera menikahimu, aku ingin terus seperti ini dalam keadaan halal, aku akan segera melamarmu". Ucap lelaki itu dengan penuh keyakinan sambil memasang kancing bajunya yang terbuka.
"Iya, aku akan menunggumu datang, sudah cukup kita melakukan kesalahan ini, nikahi aku. Lalu aku hanya akan menjadi milikmu seutuhnya". Ucap wanita yang di panggil Nur, keduanya sibuk merapikan diri lalu bergegas saling melepaskan kepergian masing-masing.

Nur melambaikan tangan menatap kepergian lelaki tampan yang baru saja memberikan malam indah baginya dengan segudang keromantisan.

Angin menghempaskan lelah, melemparkan segala pedih perih, hujan menyapu bersih kenangan. Yang ada hanya tinggal luka dan nestapa, menyeruak pada relung tabir masa lalu. Merampas segala yang ada, cinta, kepercayaan, juga kenangan.

"Nur," suara wanita paruh baya memecah lamunan Nur yang masih menatap luar jendela yang basah. Dengan sigap tanpa perintah tangannya menghapus derai air mata yang dari tadi membasahi pipinya.
"Iya bu," Nur menoleh sambil menutup jendela yang terbuka.
"Ada apa?" Sambil mendekati Nur yang sibuk dengan hordeng terbuka.
"Tidak apa-apa bu." Menyunggingkan senyum simpul yang manis.
"Tidurlah, besok akan ada yang datang untuk pemerikasaan rutin."
"Iya bu." Jawab Nur singkat.

Nur tidak ingin membagikan dukanya kepada siapapun, karena Ia berpikir cukuplah duka itu Ia simpan sendiri tanpa seorang pun yang tahu. Juga termasuk Larsih wanita paruh baya itu.
Perlahan Nur naik keatas ranjang, berharap malam ini Ia akan tidur dengan pulas tanpa mengingat semua kenangan dan masa lalu yang kelam. Ia tarik perlahan selimut tebal sebagai penghangat tidur panjangnya. Matanya sedikit membengkak karena sudah dua jam lebih Ia menangis. Perlahan Ia mulai memejamkan mata dan melayang pada dunia mimpinya.

"Aku mencintaimu Nur, aku akan menikahimu. Itu janjiku." Bara laki-laki lima tahun lalu yang berjanji akan menikahinya.
"Aku juga mencintaimu." Nur wanita biasa yang hanya dimabuk asmara yang mencintai Bara.

"Aku hamil, kamu bilang akan menikahiku?" Sekarang aku hamil dan kapan kamu akan menikahiku?" Sambil terisak menunduk memegang perut yang masih datar.
"Iya, aku akan menikahimu, aku janji, besok aku akan kerumahmu." Memeluk Nur penuh keyakinan.
"Berjanjilah untuk bertanggung jawab." Menatap Bara dengan penuh harapan.

Hari yang ditunggu Nur itu tiba, harap-harap cemas akan kedatangan Bara untuk melamar dirinya, segera menikahinya dan bertanggung jawab atas segala perbuatan dosa yang telah dilakukan. Nur hanya mondar mandir menanti sang kekasih datang. Kedua orang tua Nur pun sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi.
"Dimana dia Nur, sudah tiga jam kita menunggu." Ibu Nur pun lebih tidak sabar.
"Mungkin sedang di jalan ma." Jawab Nur singkat penuh kecemasan.
Derrrttt, derrrrrt, derrrrt. Handpone Nur diatas meja bergetar, segera Ia raih teleponenya, dari seberang sana ada suara laki-laki bicara.
"Halo Bara, kamu dimana." Tanya Nur cepat
"Maaf neng, ini yang punya hp kecelakaan, saya cuma bisa telpon ke eneng karena nama nomor eneng yang sering dihubungi.
Tanpa suara dan tanpa pertanyaan lebih panjang Nur terhenyak jatuh ke lantai.

Lima tahun lalu menjadi mimpi buruk setiap malam Nur, tidurnya tak pernah senyaman dulu. Senyumnya tak terlihat sebahagia dulu.

Semenjak kematian Bara lima tahun lalu Nur menjadi pendiam, tidak membuka diri, juga membuka hati. Calon buah hati hasil dari kesalahannya di masa lalu pun tidak ingin melihat dunia ibunya.
Nur hanya seorang diri, ditempat yang jauh dari keramaian, jauh dari cinta, jauh dari segalanya. Hanya saja kenangan itu tidak mau pergi dari kehidupan Nur.

"Selamat pagi Nur," Bu Larsih selalu saja ramah kepada Nur, menyapa juga melayani keperluan Nur.
"Pagi bu." Nur tersenyum simpul sambil merapikan tempat tidurnya.
"Hari ini bu dokter tidak datang, dia akan digantikan dengan asistennya, jam sembilan dia akan datang." Sambil membantu Nur membuka hordeng dan jendela. Nur hanya mengangguk pertanda Ia memberi jawaban iya.

Ditempat inilah Nur mencoba bangkit dari keterpurukan, mencoba membuang semua kenangan, bersama yang lain. Bersama wanita-wanita lain yang beberapa dari mereka mengalami kenangan buruk dimasa lalu. Rumah Singgah.
Lima tahun lalu Nur datang dengan segala macam luka didalam hatinya, kepergian Bara yang begitu mendadak, keguguran diawal kehamilannya. Lalu kangker rahim yang terus menggerogoti dirinya hingga saat ini. Nur hanya berprasangka baik pada Tuhannya, bahwa Tuhannya hanya akan menghukumnya didunia saja. Menebus segala dosanya dimasa lalu. Ia hanya merasa bahwa Ia lebih beruntung di banding Bara yang pergi lebih dulu sebelum memohon pengampunan.


Sabtu, 21 September 2019

Suamiku, Maafkan Aku

Untuk laki-laki biasa yang mencintaiku apa adanya. Hari ini adalah hari kelahiranmu, hari dimana kamu dilahirkan dari wanita hebat yang memberikan separuh nyawanya untukmu lahir kedunia dengan selamat, wanita yang juga memberikan restu kepada kita untuk menjadi satu dan saling memiliki. Tanpa wanita itu, hari ini aku bukanlah siapa-siapa yang berada disampingmu. Hari ini, hari dimana kamu semakin menua, yang kuharapkan menua pula bersamaku. Kita sudah semakin tua, beranjak dari hitam rambut menjadi putih. Syukurku, karena penuaan ini masih kurasakan bersamamu.
Sayang, ya aku memanggilmu sayang, bukan hanya panggilan, tapi aku memang sayang. Aku wanita biasa pula yang mencintaimu dengan separuh nyawaku pula. Sama persis seperti wanita yang melahirkanmu kedunia. Tapi aku tak mampu membandingkan diriku kepadanya. Karena aku sungguh bukan apa-apa.
Hari ini, semakin tua dirimu, semakin bertambahlah cintaku padamu. Semoga kecintaan ini pula bertambah kepada Sang pemilik Cinta.
Hari ini, aku hanya ingin meminta maaf darimu, maaf atas kekhilafan seorang istri yang sengaja atau tak disengaja melukai hati.
Mungkin bagi kebanyakan  orang hari lahir itu hari dimana hadiah special, kue tart, kejutan, tapi aku tak memberikan itu sayang. Aku hanya meminta maaf dan keridhoan atas masa-masaku yang selama ini hidup denganmu masih memiliki banyak kekurangan.
Mungkin kesalahan-kesalahan yang membuatmu semakin lelah.
Sayang, jika masa itu aku tak sempat membuatkanmu secangkir kopi karena mengasuh sang bayi, maafkan aku, aku mohon keridhoanmu untuk salahku.
Jika masa itu aku lupa menyetrika baju kerjamu karena aku kesiangan bangun, maafkan khilafku. Jika masa itu aku tak memasak lauk untukmu karena ada rasa lelahku, maafkan aku. Jika pula masa itu aku memanggilmu dengan nada tinggi, maafkan salahku. Jika aku pernah berkata kasar yang melukai hatimu, ampunkan aku, berikan aku ridhomu agar aku dapat menjadi istri yang melakukan  kewajibanku tanpa keluh. Jika masa itu aku tak dengar ajakanmu bersujud kepadaNya, ampunkan aku. Aku lalai dan berdosa.
Sayang, hari ini kau akan menua bersamaku, itu adalah syukurku, bukan sekedar angka 25 tahun usiamu, tapi untuk seribu tahun tetap bersamaku.
Jannah pula bersama kita raih.
Sayang, jika aku tak mampu menjadi istri solehah, jangan segan untuk mengajakku, jangan lelah membimbingku. Jika usia tua ini akan segera memisahkan kita, biarlah Tuhan memisahkan dengan cara terbaikNya.
Sayang, jika anak-anak kita sudah dewasa, kita pula akan semakin tua, tetaplah pegang tanganku, kita pergi lalu bertemu kembali. Disana... di tempat impian kita.
Sayang, sebelum tidurku, terucap selalu doa cinta kasihku, kutatap pula wajah lelah yang semakin tua itu, tangannya pun tak selembut dulu, sudah kasar dan terkelupas pula. Tapi tangan itulah yang dulu membelaiku dengan lembut sebelum tidur panjangku, tangan itu pula yang memijat perlahan kakiku yang lelah.
Sayang, aku bukanlah istri sang baginda Nabi, meskipun aku berangan ingin menjadi Ia. Tapi engkau mampu mencintaiku seperti Baginda Nabi.
Sayang, ada banyak cerita dan kisah yang kita lalui. Kau ingat? Waktu aku mengandung, aku ingin sekali menikmati hangatnya mi kuah dengan harga 11 ribu. Tapi ku ingat betul, uang didompetmu tinggal 10 ribu, hanya kurang seribu rupiah saja. Sambil memelukmu dan menangis dipundak itu. Ku katakan "tidak usah beli, uanganya buat beli bensin saja". Malam itu jadi malam yang tidak akan pernah aku lupakan. Kau peluk erat pula tubuh mungilku lalu kau bilang "maafkan aku, aku belum bisa menjadi suami yang baik, dulu waktu kau masih dengan orang tuamu, kebutuhanmu selalu terpenuhi, setelah bersamaku, susah yang kau dapatkan, maafkan aku". Malam itu pipi kita basah dengan linangan air mata, bukan tentang mi kuah yang tak didapatkan, melainkan cinta dan ketulusan kita yang semakin kuat. Sekuat pelukan kita saat itu.
Sayang, jangan menangis saat kau membaca kata demi kata yang tak indah ini, tersenyumlah sedikit sambil menatapku, jika aku tak ada disampingmu, bukalah fotoku di handponemu, ciumlah segera.. ku tahu kau pasti ingin memelukku seperti malam itu.
Sayang, aku pun menangis, menangis atas rasa syukurku memilikimu, kesabaranmu, kelembutanmu, kasih sayangmu.
Sayang, sehatlah selalu, semoga Tuhan menjaga setiap langkahmu, malaikat mencatat setiap keringatmu menjadi pahala. Menjadikanmu ustadz untuk anak-anak kita. Sayang, saat aku menulis kata ini, yakinlah, untaian jutaan doa pula yang terucap untukmu.
Maaf untuk segala salah dan dosa istrimu, ridholah untuk segala perbuatanku kepadamu.
Sun sayang, dari istrimu yang cerewet

Senin, 07 Mei 2018

Tuhan Maha Baik, Memberikan Takdir Terbaik

Sudah lama aku tidak menulis lagi, entah berapa tahun lalu setelah aku mulai beranjak untuk bangkit dari kisah lama yang seharusnya sudah aku buang. Sebenarnya sudah di buang, tapi masih saja singgak meskipun sedikit. Padahal dosa jika aku masih mengingatnya. Tentang masa yang tidak ingin aku ingat lagi, bahkan untuk menjadi sebuah kenangan saja itu tidaklah wajar. 
Tapi, masa yang begitu lama itu sudah tergantikan dengan masa sekarang yang begitu membuat hidupku penuh dengan rasa syukur. Syukurku atas sebuah pertemuan, keyakinan, keberanian, dan juga kepercayaan. Semua dipupuk dengan berbagai macam variasi warna dan rasa. Mulai dari kekecewaan, air mata, luka, bohong yang akhirnya memaksa untuk jujur, tentang melupakan dan juga menerima sepenuhnya bahkan untuk selamanya. Tentang takdir yang akhirnya mengharuskanku untuk memantapkan hati hanya pada satu hati.

Melepaskan dia dimasa lalu dan Tuhan ganti dengan yang lebih baik. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhanku. Masa yang begitu lama itu, akhirnya dengan waktu yang begitu singkat dan begitu cepat berlalu, Tuhan hadirkan sosok yang begitu istimewa hadir disetiap tidur dan bangun tidurku. Selalu ada kerinduan disana sekalipun detik demi detik itu tak pernah terlewat oleh suara dan wajahnya. Setiap lelahku menjadi lenyap seketika saat menatap mata sipitnya. meraba setiap sendi-sendi wajahnya sebelum malam mengistirahatkan kedua mata. Kecupan lembut setelah solatnya yang menangkan setiap saat. Betapa Tuhan Maha baik kepadaku. 

Dunia, takdirku bertemu dengannya merupakan anugerah terindah yang setiap kaum hawa inginkan, lelaki yang begitu penakut dibalut dengan iman dan takwa, dia lelaki yang penuh dengan rasa takut.  Lelaki yang takut lalai kepada perintah Tuhannya, lelaki yang takut menyakiti hati ibunya, lelaki yang takut Tuhan meninggalkannya, lelaki yang takut menyakiti hati wanitanya, lelaki yang takut tak mampu membimbing wanitanya. Dia lelaki yang berani datang mengetuk ruas-ruas pintu rumah menghadap kepada seorang ayah untuk meminta anak gadisnya menjadi separuh penyempurna agamanya.

Lelaki yang sampai tulisan ini di buat, tidak pernah menyakiti hati wanitanya dengan sengaja. Lelaki itu zauji ku. Yang ketika tidur dan bangunku selalu menatap wajahnya, menggenggam tangannya, mengecup bibirnya, juga memeluk tubuh hangatnya. Tuhan yang Maha Baik selalu memberikan kejutan beribu kejutan dalam setiap skenario kehidupan hambanya. Satu lagi keyakinanku, yaitu Tuhan menjaga rapi masa depan kami dengan skenarioNya yang lebih baik, setelah pertemuan dan takdir bersamanya, keyakinanku bertambah. Tuhan pasti memberikan kejutan pada setiap jengkal waktu yang dilalui. Yaitu masa depan yang tidak pernah kami ketahui. 

Tuhan Maha Baik, memberikan takdir terbaik. Pernikahan Vinna dan Adit 24 Februari 2018. Dengan mahar hafalan Surah Ar Rahman dan seperangkat alat solat. Kutemukan jodohku dengan kesiapan dan keberanian membangun rumah tangga yang bahagia.