Bidadari itu di Bumi
Minggu, 27 Oktober 2024
Aku Tak Ingin Jadi Manusia
Selasa, 24 September 2024
Peyek Buatan Emak
Perempuan tua itu mendongakkan wajah begitu mendengar desingan tajam di atas ubun-ubunnya. Di langit petang yang temaram, ia melihat lampu kuning, hijau, dan merah mengerjap-ngerjap pada ujung-ujung sayap pesawat terbang.
Deru burung besi itu kian nyaring begitu melewati tempatnya berjongkok. Ia menghentikan gerakan tangannya. Menggiring burung itu lenyap dari mata lamurnya. Lalu, tangannya kembali menggumuli cucian pakaian yang tak kunjung habis itu. Beberapa detik sekali, tangan keriputnya berhenti, lalu ia menampari pipi dan kaki. Nyamuk di belantara beton ternyata lebih ganas ketimbang nyamuk-nyamuk rimba yang saban pagi menyetubuhi kulitnya saat menyadap karet nun jauh di pedalaman Sumatera-Selatan sana: Tanah Abang.
Ia menarik napas, melegakan dada ringkihnya yang terasa kian menyempit. Kicauan televisi tetangga menenggelamkan helaan napasnya. Suara musik, iklan, dan segala hal. Perempuan itu kembali menghela napas. Lalu, bangkit dari jongkoknya, menekan tuas sumur pompa. Irama air mengalir dalam ritme yang kacau. Kadang besar, kadang kecil, seiring tenaganya yang timbul-tenggelam. Air keruh memenuhi bak plastik, menindih-nindih pakaian yang bergelut busa deterjen. Bau karet tercium menyengat begitu air itu jatuh seperti terjun.
Ia adalah Mak Inang. Belum genap satu purnama perempuan tua itu terdampar di rimba Jakarta, di antara semak-belukar rumah kontrakan yang berdesak-desakan macam jamur kuping yang mengembang bila musim hujan di kebun karetnya. Hidungnya pun belum akrab dengan bau bacin selokan berair hitam kental yang mengalir di belakang kontrakan berdinding triplek anak lanangnya. Bahkan, Mak Inang masih sering terkaget-kaget bila tikus-tikus got Jakarta yang bertubuh hitam-besar lagi gemuk melebihi kucing betinanya di kampung, tiba-tiba berlarian di depan matanya.
”Kesinilah, Mak. Tengoklah anak lanangku, cucu bujang Emak. Parasnya rupawan mirip almarhum Ebak, jangan lupa buatkan aku peyek buatan emak yang enak itu," itulah suara Jamal kepadanya beberapa pekan silam. Suara anak lanangnya yang kemerosok seperti radio tua, ia pun melipat kening saat mengetahui suara itu berasal dari benda aneh di genggamannya.
Mak Inang kembali menghela napas saat ingat percakapan lewat hape dengan anak lanangnya itu. Beberapa pekan sebelum ia merasa telah tersesat di rimba Jakarta, di semak-belukar kontrakan yang bergot bau menyengat. Ia melepas tuas pompa, air berhenti mengalir. Tangannya menjangkau cucian, membilasnya.
***
Belum jua hilang rasa penat dan pusing di kepala Mak Inang, apalagi rasa pedas di bokongnya, karena duduk sehari-semalam di bus reot yang berjalan macam keong, beberapa orang telah berebut mengerubungi dirinya, macam lalat, berdengung-dengung. Mak Inang memijit keningnya. Kupingnya pun ikut pening dengan orang-orang yang berbicara tak jelas.
Turunlah mak Inang dari dalam bus menenteng beberapa buah dus ditangan kiri dan kanannya berisi peyek kacang dan teri yang Ia buat untuk anak lanangnya. Terbayang sudah wajah cucunya yang mirip dengan Ebak.
Suara bising semakin memekakkan telinga, semua orang berkerumun ingin tahu apa yang terjadi, peyek itu sudah jadi remahan, berhambur mengotori jalanan, warnanya tak lagi seperti golden brown layaknya kata master chef, basah bercampur darah. Mak Inang lirih tersenyum membayangkan wajah cucunya yang mirip Ebak.
Jumat, 30 April 2021
Titipan Rumah Belanda
Aku adalah karyawan swasta dari perusahaan terbesar di kotaku. Usiaku menginjak angka yang tak lagi muda, 25 tahun adalah usia matang untuk membangun rumah tangga. Tapi karena aku adalah karyawan yang baru saja di angkat menjadi karyawan tetap, maka aku memutuskan untuk menunda pernikahanku, sekalipun aku selalu ditanya, kapan menikah. Menunggu satu sampai dua tahun mungkin bisa, kalau tidak, mungkin pacarku saat ini bukan jodohku jika kami harus berpisah.
Tinggal dikota kecil di pulau Sumatera seperti ini bukanlah hal yang sulit, terlebih aku adalah orang asli Sumatera. Di lingkungan yang sedikit keras tata bicaranya, bukan karena marah melainkan logat bicara orang Sumatera memang seperti itu. Aku Adit, pria bujang yang sedikit tampan dan menawan, keluargaku bilang, aku ini berkarisma.
Menjadi karyawan swasta PT Kereta Api adalah impianku sejak selesai dari bangku SMA. Gaji yang lumayan besar, dan sedikit memiliki nama di daerahku. Siapa sangka diusia 25 tahun aku sudah mampu membeli sebidang tanah untukku bangun istana kecil bersama sang bidadari pendamping hidupku.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kantor, aku bekerja di bagian sarana dan prasarana. Bagian pemberkasan dan berkutat dengan komputer, kadang pula sesekali mengecek diluar lapangan jika diperlukan. Tempatku bekerja cukup luas, hampir 20-25 hektar luas bangunan. Pusat kereta api terbesar di Sumatera Selatan. Tak heran jika tetanggaku terkagum-kagum jika mendengar tempat kerjaku.
Tidak ada kata santai dalam bekerja, semua memiliki pos masing-masing. Tidak terkecuali aku, tempatku bekerja adalah tempat yang terkenal dengan peninggalan penjajah Belanda, termasuk rel kereta yang selalu kulalui saat pulang kerja, wisma rumah singgah para karyawan dari luar kota, termasuk bangunan tua ditempatku bekerja.
Senin, 04 Mei 2020
Istriku Cerewet
"Nasinya kebanyakan". Jawabku singkat. Lalu meninggalkannya dan bermain dengan buah hati kami yang masih kecil.
"Mau kopi nggak yang?" Tanya istriku setelah selesai menyusun piring pada tempatnya.
"Boleh." Kataku seadanya
"Yang tadi ada berita di tv soal begal yang di amuk masa sampai mati, sampe di bakar hidup-hidup." Cerita istriku dengan mimik muka serius.
"Wajarlah kalo begal, aku aja geram lihat kelakuan mereka." Tanggapku lalu mengangkat kopi dan mencoba meminumnya tapi meleset dari bibirku karena panas, kopi itupun tumpah di atas meja.
"Ya Allah yaaang, makanya hati-hati, tau kopi panas langsung di minum gitu, kotor tu taplak mejanya." Sambil membersihkan meja istriku masih mengomel.
"Namanya bukan ayangmu kalo nggak numpahin makanan atau minuman." Candaku agar Ia tersenyum.
"Jawab aja kalo di bilangin." Dengan wajah datar menahan senyum.
Hari-hariku berlalu dengan biasa saja, masih dengan istri yang selalu mengomel di pagi hari, siang hari, bahkan sebelum Ia memejamkan mata masih tetap dengan omelan-omelannya yang entah memang benar karena kesalahanku atau dia memang sedang ingin mengomel. Sekecil apapun kesalahan itu akan membutuhkan waktu lama untuk mendengar ocehannya yang tak berkesudahan.
Entah kenapa semenjak menikah istriku malah lebih sering mengomel, padahal pekerjaan rumah masih tetap aku bantu jika aku sempat untuk membantu, mengasuh buah hati juga aku lakukan saat pulang bekerja. Kurasa tak ada kesalahan fatal yang aku lakukan semenjak kami menikah. Tapi istriku masih saja mengomeli hal-hal kecil yang aku lakukan.
Selain ngomel, istriku juga seorang komentator yang handal. Saat aku bekerja di belakang rumah, membuat meja atau kursi istriku akan mendekat dan mengatur semua pekerjaanku, memberi saran yang sebenarnya tidak cocok dengan ideku. Kadang Ia akan tahan duduk lama memandoriku bekerja sampai selesai.
Aku lelah dengan istriku, mencoba mengubahnya agar menjadi istri yang pendiam. Atau mengurangi kadar kosa kata yang terus keluar dari mulutnya.
"Yang, makan yuk aku laper nih." Ajakku saat Ia sedang mengotak atik hapenya.
"Makan bareng yang?"
"Iya, hayuk." Lalu Ia segera bergegas mengambil sepiring nasi untuk berdua dengan lauk pauknya.
Kelebihan istriku adalah Ia mau hidup apa adanya dengan lelaki biasa sepertiku, mau makan sepiring berdua, kadang makan dengan dadar telur saja dia mau. Kami menikmati itu saat sedang makan berdua. Istriku adalah wanita yang manja, masih seperti anak-anak saat dia sedang bersamaku. Aku hanya belum menemukan jawaban kenapa istriku sering mengomel semenjak menikah. Cerewetnya itu yang membuatku geram. Selain itu aku sangat mencintainya.
"Yang motormu toh di benerin, kok starternya nggak nyala gitu, aku kalo mau kepasar kan jadi susah, pake engkol segala aku kan nggak bisa." Keluh istriku saat mau pergi kepasar belanja bulanan.
"Iya nanti kalo ada duitnya." Jawabku seadanya.
Sering kami berdebat soal kecerewetannya yang tak ketulungan itu. Pernah kami bicarakan berkali-kali. Namun istriku selalu mendadak baperan, kadang menangis di kamar jika aku tegur saat Ia mengoceh sepanjang hari. Sampai aku tidak tahu harus melakukan apa lagi.
"Yang coba diam dulu, kamu kok ngoceh terus, nggak capek apa." Sentakku saat kami sedang duduk santai di depan tv, dan dia terus mengomentari orang-orang di balik layar.
"Lah kenapa, nggak serulah kalo nonton diem aja."
"Kamu apa tv yang mau di tonton." Jawabku. Diem dulu, berisik kamu tu. Ngoceh teruas" Jawabku kesal dengan wajah marah tanpa melihat wajahnya. Ia berlari ke kamar dan menangis. Ku biarkan saja Ia menangis sampai tertidur untuk memberikan pelajaran padanya.
Besoknya Ia memberikan bekal sarapanku seperti biasa, tapi tanpa sepatah katapun. Lalu mencium tanganku sebelum berangkat bekerja dan menutup pintu rumah, mungkin Ia masih kesal padaku karena tidak membujuknya semalam.
Pulang kerja aku di sambutnya seperti biasa, tapi masih tidak mengatakan apapun. Ia menawarkanku makan lalu pergi membuat kopi. Aku mendekatinya dan memeluknya untuk meminta maaf. Ia tersenyum dan mengatakan.
"Nggak apa-apa."
Sejak saat itu istriku tidak banyak bicara lagi, Ia bicara seperlunya saja. Namun perhatiannya masih tetap sama. Hanya kosa katanya yang semakin berkurang. Aku bersyukur dengan keadaan ini, tapi aku merasa rindu dengan ocehannya. Ah, kemarin aku geram dengan kecerewetannya, sekarang malah rindu. Biarlah, hidupku jadi lebih tenang dan damai. Istri yang aku idamkan.
Dua minggu berlalu, istriku masih tidak banyak bicara, aku melalui hari-hariku dengan sangat tenang. Ia juga sepertinya menikmati hari-hari itu. Tapi wajah istriku nampak pucat, sepertinya Ia sedang sakit.
"Kamu kenapa yang?" Tanyaku khawatir
"Nggak apa-apa, mungkin capek aja, aku kayaknya mau tidur cepet yang." Jawabnya lalu pergi kekamar, dan aku biarkan Ia untuk istrirahat lebih dulu.
Besoknya tak ada sarapan yang Ia buatkan, ku intip di kamar Ia masih tidur dengan selimut tebal, kudekati dia, kusentuh keningnya terasa dingin sekali, wajahnya pucat pasi. Kubangunkan dia perlahan agar aku bisa membawanya berobat kerumah sakit. Namun dia tak bergeming.
"Yang, bangun yang, kita berobat yuk." Ajakku sambil menggoyangkan tubuhnya. Masih tak ada jawaban.
Aku mulai khawatir dan was-was. Kusentuh setiap jari-jarinya, terasa dingin sekali. Kulitnya putih pucat, tak kutemukan denyut nadinya. Aku tersentak, diam di sisi tempat tidur, air mataku berlinang tanpa suara tangis. Begitu sesak, denyut jantungku berdetak lebih cepat. Hampa, tak ada kehidupan.
"Yang, jangan main-main, ayo bangun. Buatkan aku sarapan." Desakku setengah tak waras. Istriku diam tak mengatakan apapun.
"Bicaralah yang, pagi-pagi jangan bercandalah." Ungkapku dalam tangis tersedu-sedu.
Istriku diam, diam untuk selamanya, tak ada yang Ia tinggalkan, suara cemprengnya tak ada lagi, ocehan konyolannya hilang tak berbekas, Hanya ada rindu pada ocehannya yang membuat ramai seisi rumah. Suara yang tak dapat lagi kudengar, omelan-omelan yang membuatku gila kini membuatku semakin gila karena merindukannya.
Ku buka hape istriku, ada catatan penting di gawainya dengan tulisan.
"Yang, cintai kekuranganku, aku memang cerewet, tapi jika aku tak ada lagi disunia ini kau akan rindu padaku. Jika kau minta aku untuk diam, aku akan diam. Menjadi sosok wanita lain dalam hidupmu. Bukan menjadi diriku sendiri. Inilah aku, wanita cerewet yang pernah kau cintai."
Berlinanglah air mataku membacanya, meminta istriku untuk diam, tapi bukan diam untuk selamanya. Secara tak kusadari, aku meminta istriku untuk menjadi wanita lain, wanita yang aku inginkan, bukan menjadi dirinya sendiri. Kusadari, kekurangannya hanya satu, tak bisa berhenti bicara. Bukan berarti aku harus menyuruhnya diam, melainkan menuntunnya untuk bicara seperlunya tanpa melukai hatinya.
Bahkan saat Ia sakitpun tak ingin mengatakannya padaku. Tak ada lagi yang mengoceh di pagi hari seperti burung beo, memandoriku bekerja seharian. Rumah ini menjadi sepi hening. Hanya ada sisa rindu dua minggu yang lalu sebelum istriku berubah menjadi wanita lain.

Minggu, 27 Oktober 2019
Luka Liku Lalu
Angin menghempaskan lelah, melemparkan segala pedih perih, hujan menyapu bersih kenangan. Yang ada hanya tinggal luka dan nestapa, menyeruak pada relung tabir masa lalu. Merampas segala yang ada, cinta, kepercayaan, juga kenangan.
"Nur," suara wanita paruh baya memecah lamunan Nur yang masih menatap luar jendela yang basah. Dengan sigap tanpa perintah tangannya menghapus derai air mata yang dari tadi membasahi pipinya.
"Iya bu," Nur menoleh sambil menutup jendela yang terbuka.
"Ada apa?" Sambil mendekati Nur yang sibuk dengan hordeng terbuka.
"Tidak apa-apa bu." Menyunggingkan senyum simpul yang manis.
"Tidurlah, besok akan ada yang datang untuk pemerikasaan rutin."
"Iya bu." Jawab Nur singkat.
Nur tidak ingin membagikan dukanya kepada siapapun, karena Ia berpikir cukuplah duka itu Ia simpan sendiri tanpa seorang pun yang tahu. Juga termasuk Larsih wanita paruh baya itu.
Perlahan Nur naik keatas ranjang, berharap malam ini Ia akan tidur dengan pulas tanpa mengingat semua kenangan dan masa lalu yang kelam. Ia tarik perlahan selimut tebal sebagai penghangat tidur panjangnya. Matanya sedikit membengkak karena sudah dua jam lebih Ia menangis. Perlahan Ia mulai memejamkan mata dan melayang pada dunia mimpinya.
"Aku mencintaimu Nur, aku akan menikahimu. Itu janjiku." Bara laki-laki lima tahun lalu yang berjanji akan menikahinya.
"Aku juga mencintaimu." Nur wanita biasa yang hanya dimabuk asmara yang mencintai Bara.
"Aku hamil, kamu bilang akan menikahiku?" Sekarang aku hamil dan kapan kamu akan menikahiku?" Sambil terisak menunduk memegang perut yang masih datar.
"Iya, aku akan menikahimu, aku janji, besok aku akan kerumahmu." Memeluk Nur penuh keyakinan.
"Berjanjilah untuk bertanggung jawab." Menatap Bara dengan penuh harapan.
Hari yang ditunggu Nur itu tiba, harap-harap cemas akan kedatangan Bara untuk melamar dirinya, segera menikahinya dan bertanggung jawab atas segala perbuatan dosa yang telah dilakukan. Nur hanya mondar mandir menanti sang kekasih datang. Kedua orang tua Nur pun sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi.
"Dimana dia Nur, sudah tiga jam kita menunggu." Ibu Nur pun lebih tidak sabar.
"Mungkin sedang di jalan ma." Jawab Nur singkat penuh kecemasan.
Derrrttt, derrrrrt, derrrrt. Handpone Nur diatas meja bergetar, segera Ia raih teleponenya, dari seberang sana ada suara laki-laki bicara.
"Halo Bara, kamu dimana." Tanya Nur cepat
"Maaf neng, ini yang punya hp kecelakaan, saya cuma bisa telpon ke eneng karena nama nomor eneng yang sering dihubungi.
Tanpa suara dan tanpa pertanyaan lebih panjang Nur terhenyak jatuh ke lantai.
Lima tahun lalu menjadi mimpi buruk setiap malam Nur, tidurnya tak pernah senyaman dulu. Senyumnya tak terlihat sebahagia dulu.
Semenjak kematian Bara lima tahun lalu Nur menjadi pendiam, tidak membuka diri, juga membuka hati. Calon buah hati hasil dari kesalahannya di masa lalu pun tidak ingin melihat dunia ibunya.
Nur hanya seorang diri, ditempat yang jauh dari keramaian, jauh dari cinta, jauh dari segalanya. Hanya saja kenangan itu tidak mau pergi dari kehidupan Nur.
"Selamat pagi Nur," Bu Larsih selalu saja ramah kepada Nur, menyapa juga melayani keperluan Nur.
"Pagi bu." Nur tersenyum simpul sambil merapikan tempat tidurnya.
"Hari ini bu dokter tidak datang, dia akan digantikan dengan asistennya, jam sembilan dia akan datang." Sambil membantu Nur membuka hordeng dan jendela. Nur hanya mengangguk pertanda Ia memberi jawaban iya.
Ditempat inilah Nur mencoba bangkit dari keterpurukan, mencoba membuang semua kenangan, bersama yang lain. Bersama wanita-wanita lain yang beberapa dari mereka mengalami kenangan buruk dimasa lalu. Rumah Singgah.
Lima tahun lalu Nur datang dengan segala macam luka didalam hatinya, kepergian Bara yang begitu mendadak, keguguran diawal kehamilannya. Lalu kangker rahim yang terus menggerogoti dirinya hingga saat ini. Nur hanya berprasangka baik pada Tuhannya, bahwa Tuhannya hanya akan menghukumnya didunia saja. Menebus segala dosanya dimasa lalu. Ia hanya merasa bahwa Ia lebih beruntung di banding Bara yang pergi lebih dulu sebelum memohon pengampunan.
Sabtu, 21 September 2019
Suamiku, Maafkan Aku
Sayang, ya aku memanggilmu sayang, bukan hanya panggilan, tapi aku memang sayang. Aku wanita biasa pula yang mencintaimu dengan separuh nyawaku pula. Sama persis seperti wanita yang melahirkanmu kedunia. Tapi aku tak mampu membandingkan diriku kepadanya. Karena aku sungguh bukan apa-apa.
Hari ini, semakin tua dirimu, semakin bertambahlah cintaku padamu. Semoga kecintaan ini pula bertambah kepada Sang pemilik Cinta.
Hari ini, aku hanya ingin meminta maaf darimu, maaf atas kekhilafan seorang istri yang sengaja atau tak disengaja melukai hati.
Mungkin bagi kebanyakan orang hari lahir itu hari dimana hadiah special, kue tart, kejutan, tapi aku tak memberikan itu sayang. Aku hanya meminta maaf dan keridhoan atas masa-masaku yang selama ini hidup denganmu masih memiliki banyak kekurangan.
Mungkin kesalahan-kesalahan yang membuatmu semakin lelah.
Sayang, jika masa itu aku tak sempat membuatkanmu secangkir kopi karena mengasuh sang bayi, maafkan aku, aku mohon keridhoanmu untuk salahku.
Jika masa itu aku lupa menyetrika baju kerjamu karena aku kesiangan bangun, maafkan khilafku. Jika masa itu aku tak memasak lauk untukmu karena ada rasa lelahku, maafkan aku. Jika pula masa itu aku memanggilmu dengan nada tinggi, maafkan salahku. Jika aku pernah berkata kasar yang melukai hatimu, ampunkan aku, berikan aku ridhomu agar aku dapat menjadi istri yang melakukan kewajibanku tanpa keluh. Jika masa itu aku tak dengar ajakanmu bersujud kepadaNya, ampunkan aku. Aku lalai dan berdosa.
Sayang, hari ini kau akan menua bersamaku, itu adalah syukurku, bukan sekedar angka 25 tahun usiamu, tapi untuk seribu tahun tetap bersamaku.
Jannah pula bersama kita raih.
Sayang, jika aku tak mampu menjadi istri solehah, jangan segan untuk mengajakku, jangan lelah membimbingku. Jika usia tua ini akan segera memisahkan kita, biarlah Tuhan memisahkan dengan cara terbaikNya.
Sayang, jika anak-anak kita sudah dewasa, kita pula akan semakin tua, tetaplah pegang tanganku, kita pergi lalu bertemu kembali. Disana... di tempat impian kita.
Sayang, sebelum tidurku, terucap selalu doa cinta kasihku, kutatap pula wajah lelah yang semakin tua itu, tangannya pun tak selembut dulu, sudah kasar dan terkelupas pula. Tapi tangan itulah yang dulu membelaiku dengan lembut sebelum tidur panjangku, tangan itu pula yang memijat perlahan kakiku yang lelah.
Sayang, aku bukanlah istri sang baginda Nabi, meskipun aku berangan ingin menjadi Ia. Tapi engkau mampu mencintaiku seperti Baginda Nabi.
Sayang, ada banyak cerita dan kisah yang kita lalui. Kau ingat? Waktu aku mengandung, aku ingin sekali menikmati hangatnya mi kuah dengan harga 11 ribu. Tapi ku ingat betul, uang didompetmu tinggal 10 ribu, hanya kurang seribu rupiah saja. Sambil memelukmu dan menangis dipundak itu. Ku katakan "tidak usah beli, uanganya buat beli bensin saja". Malam itu jadi malam yang tidak akan pernah aku lupakan. Kau peluk erat pula tubuh mungilku lalu kau bilang "maafkan aku, aku belum bisa menjadi suami yang baik, dulu waktu kau masih dengan orang tuamu, kebutuhanmu selalu terpenuhi, setelah bersamaku, susah yang kau dapatkan, maafkan aku". Malam itu pipi kita basah dengan linangan air mata, bukan tentang mi kuah yang tak didapatkan, melainkan cinta dan ketulusan kita yang semakin kuat. Sekuat pelukan kita saat itu.
Sayang, jangan menangis saat kau membaca kata demi kata yang tak indah ini, tersenyumlah sedikit sambil menatapku, jika aku tak ada disampingmu, bukalah fotoku di handponemu, ciumlah segera.. ku tahu kau pasti ingin memelukku seperti malam itu.
Sayang, aku pun menangis, menangis atas rasa syukurku memilikimu, kesabaranmu, kelembutanmu, kasih sayangmu.
Sayang, sehatlah selalu, semoga Tuhan menjaga setiap langkahmu, malaikat mencatat setiap keringatmu menjadi pahala. Menjadikanmu ustadz untuk anak-anak kita. Sayang, saat aku menulis kata ini, yakinlah, untaian jutaan doa pula yang terucap untukmu.
Maaf untuk segala salah dan dosa istrimu, ridholah untuk segala perbuatanku kepadamu.
Sun sayang, dari istrimu yang cerewet


