"Sarapannya kok nggak di habisin, nggak selera ya lauknya". Ucap istriku yang masih sibuk dengan piring kotor yang sedang di bilasnya.
"Nasinya kebanyakan". Jawabku singkat. Lalu meninggalkannya dan bermain dengan buah hati kami yang masih kecil.
"Mau kopi nggak yang?" Tanya istriku setelah selesai menyusun piring pada tempatnya.
"Boleh." Kataku seadanya
"Yang tadi ada berita di tv soal begal yang di amuk masa sampai mati, sampe di bakar hidup-hidup." Cerita istriku dengan mimik muka serius.
"Wajarlah kalo begal, aku aja geram lihat kelakuan mereka." Tanggapku lalu mengangkat kopi dan mencoba meminumnya tapi meleset dari bibirku karena panas, kopi itupun tumpah di atas meja.
"Ya Allah yaaang, makanya hati-hati, tau kopi panas langsung di minum gitu, kotor tu taplak mejanya." Sambil membersihkan meja istriku masih mengomel.
"Namanya bukan ayangmu kalo nggak numpahin makanan atau minuman." Candaku agar Ia tersenyum.
"Jawab aja kalo di bilangin." Dengan wajah datar menahan senyum.
Hari-hariku berlalu dengan biasa saja, masih dengan istri yang selalu mengomel di pagi hari, siang hari, bahkan sebelum Ia memejamkan mata masih tetap dengan omelan-omelannya yang entah memang benar karena kesalahanku atau dia memang sedang ingin mengomel. Sekecil apapun kesalahan itu akan membutuhkan waktu lama untuk mendengar ocehannya yang tak berkesudahan.
Entah kenapa semenjak menikah istriku malah lebih sering mengomel, padahal pekerjaan rumah masih tetap aku bantu jika aku sempat untuk membantu, mengasuh buah hati juga aku lakukan saat pulang bekerja. Kurasa tak ada kesalahan fatal yang aku lakukan semenjak kami menikah. Tapi istriku masih saja mengomeli hal-hal kecil yang aku lakukan.
Selain ngomel, istriku juga seorang komentator yang handal. Saat aku bekerja di belakang rumah, membuat meja atau kursi istriku akan mendekat dan mengatur semua pekerjaanku, memberi saran yang sebenarnya tidak cocok dengan ideku. Kadang Ia akan tahan duduk lama memandoriku bekerja sampai selesai.
Aku lelah dengan istriku, mencoba mengubahnya agar menjadi istri yang pendiam. Atau mengurangi kadar kosa kata yang terus keluar dari mulutnya.
"Yang, makan yuk aku laper nih." Ajakku saat Ia sedang mengotak atik hapenya.
"Makan bareng yang?"
"Iya, hayuk." Lalu Ia segera bergegas mengambil sepiring nasi untuk berdua dengan lauk pauknya.
Kelebihan istriku adalah Ia mau hidup apa adanya dengan lelaki biasa sepertiku, mau makan sepiring berdua, kadang makan dengan dadar telur saja dia mau. Kami menikmati itu saat sedang makan berdua. Istriku adalah wanita yang manja, masih seperti anak-anak saat dia sedang bersamaku. Aku hanya belum menemukan jawaban kenapa istriku sering mengomel semenjak menikah. Cerewetnya itu yang membuatku geram. Selain itu aku sangat mencintainya.
"Yang motormu toh di benerin, kok starternya nggak nyala gitu, aku kalo mau kepasar kan jadi susah, pake engkol segala aku kan nggak bisa." Keluh istriku saat mau pergi kepasar belanja bulanan.
"Iya nanti kalo ada duitnya." Jawabku seadanya.
Sering kami berdebat soal kecerewetannya yang tak ketulungan itu. Pernah kami bicarakan berkali-kali. Namun istriku selalu mendadak baperan, kadang menangis di kamar jika aku tegur saat Ia mengoceh sepanjang hari. Sampai aku tidak tahu harus melakukan apa lagi.
"Yang coba diam dulu, kamu kok ngoceh terus, nggak capek apa." Sentakku saat kami sedang duduk santai di depan tv, dan dia terus mengomentari orang-orang di balik layar.
"Lah kenapa, nggak serulah kalo nonton diem aja."
"Kamu apa tv yang mau di tonton." Jawabku. Diem dulu, berisik kamu tu. Ngoceh teruas" Jawabku kesal dengan wajah marah tanpa melihat wajahnya. Ia berlari ke kamar dan menangis. Ku biarkan saja Ia menangis sampai tertidur untuk memberikan pelajaran padanya.
Besoknya Ia memberikan bekal sarapanku seperti biasa, tapi tanpa sepatah katapun. Lalu mencium tanganku sebelum berangkat bekerja dan menutup pintu rumah, mungkin Ia masih kesal padaku karena tidak membujuknya semalam.
Pulang kerja aku di sambutnya seperti biasa, tapi masih tidak mengatakan apapun. Ia menawarkanku makan lalu pergi membuat kopi. Aku mendekatinya dan memeluknya untuk meminta maaf. Ia tersenyum dan mengatakan.
"Nggak apa-apa."
Sejak saat itu istriku tidak banyak bicara lagi, Ia bicara seperlunya saja. Namun perhatiannya masih tetap sama. Hanya kosa katanya yang semakin berkurang. Aku bersyukur dengan keadaan ini, tapi aku merasa rindu dengan ocehannya. Ah, kemarin aku geram dengan kecerewetannya, sekarang malah rindu. Biarlah, hidupku jadi lebih tenang dan damai. Istri yang aku idamkan.
Dua minggu berlalu, istriku masih tidak banyak bicara, aku melalui hari-hariku dengan sangat tenang. Ia juga sepertinya menikmati hari-hari itu. Tapi wajah istriku nampak pucat, sepertinya Ia sedang sakit.
"Kamu kenapa yang?" Tanyaku khawatir
"Nggak apa-apa, mungkin capek aja, aku kayaknya mau tidur cepet yang." Jawabnya lalu pergi kekamar, dan aku biarkan Ia untuk istrirahat lebih dulu.
Besoknya tak ada sarapan yang Ia buatkan, ku intip di kamar Ia masih tidur dengan selimut tebal, kudekati dia, kusentuh keningnya terasa dingin sekali, wajahnya pucat pasi. Kubangunkan dia perlahan agar aku bisa membawanya berobat kerumah sakit. Namun dia tak bergeming.
"Yang, bangun yang, kita berobat yuk." Ajakku sambil menggoyangkan tubuhnya. Masih tak ada jawaban.
Aku mulai khawatir dan was-was. Kusentuh setiap jari-jarinya, terasa dingin sekali. Kulitnya putih pucat, tak kutemukan denyut nadinya. Aku tersentak, diam di sisi tempat tidur, air mataku berlinang tanpa suara tangis. Begitu sesak, denyut jantungku berdetak lebih cepat. Hampa, tak ada kehidupan.
"Yang, jangan main-main, ayo bangun. Buatkan aku sarapan." Desakku setengah tak waras. Istriku diam tak mengatakan apapun.
"Bicaralah yang, pagi-pagi jangan bercandalah." Ungkapku dalam tangis tersedu-sedu.
Istriku diam, diam untuk selamanya, tak ada yang Ia tinggalkan, suara cemprengnya tak ada lagi, ocehan konyolannya hilang tak berbekas, Hanya ada rindu pada ocehannya yang membuat ramai seisi rumah. Suara yang tak dapat lagi kudengar, omelan-omelan yang membuatku gila kini membuatku semakin gila karena merindukannya.
Ku buka hape istriku, ada catatan penting di gawainya dengan tulisan.
"Yang, cintai kekuranganku, aku memang cerewet, tapi jika aku tak ada lagi disunia ini kau akan rindu padaku. Jika kau minta aku untuk diam, aku akan diam. Menjadi sosok wanita lain dalam hidupmu. Bukan menjadi diriku sendiri. Inilah aku, wanita cerewet yang pernah kau cintai."
Berlinanglah air mataku membacanya, meminta istriku untuk diam, tapi bukan diam untuk selamanya. Secara tak kusadari, aku meminta istriku untuk menjadi wanita lain, wanita yang aku inginkan, bukan menjadi dirinya sendiri. Kusadari, kekurangannya hanya satu, tak bisa berhenti bicara. Bukan berarti aku harus menyuruhnya diam, melainkan menuntunnya untuk bicara seperlunya tanpa melukai hatinya.
Bahkan saat Ia sakitpun tak ingin mengatakannya padaku. Tak ada lagi yang mengoceh di pagi hari seperti burung beo, memandoriku bekerja seharian. Rumah ini menjadi sepi hening. Hanya ada sisa rindu dua minggu yang lalu sebelum istriku berubah menjadi wanita lain.

Maasyaallah mba vinna, kisahnya bikin mewek😭
BalasHapusIya, penulis juga serasa ada di dalam cerita 😊 hehehe
Hapus