Kamis, 25 Agustus 2016

Memaksa Takdir Berpihak

            
“Aku mencintaimu Naysha, aku ingin menikahimu, menjadikanmu ibu untuk anak-anakku. Aku tahu kau pun begitu mencintaiku”. Gerimis masih saja tak mau berhenti setelah mendengar kalimat romantis dan pilu dari seorang pria yang baru saja melamar seorang gadis manis lembut perangainya. “Cinta? Apa kau tahu Bian? cinta yang baru saja kau katakan itu tentang apa. Apa kau mampu menerima semua kekuranganku? Tetap berada disisiku meskipun langit runtuh, bahkan tempat ini akan hancur lebur?” Gadis bernama Nasysha menatap lembut pria didepannya  yang hampir kebasahan terkena tetes hujan. Matanya yang penuh kasih namun tak mampu lagi berucap banyak. “Aku mencintaimu Naysha, seribu kali kau tanya arti cintaku, aku akan tetap mencintaimu, aku akan menikahimu. Kekurangan yang kau miliki, aku pun begitu, mungkin kekuranganku lebih banyak daripada yang kau miliki. Bahkan jika hari ini kau tak menjawab tentang perasaanku, aku bahkan akan tetap terus mencintaimu.” Matanya berkaca-kaca, namun tetes hujan semakin menghantam tanah dan menutupi mata tulus itu. Naysha meninggalkan Bian yang masih berdiri terpaku diguyur hujan, namun langkah Naysha tak secepat guyuran hujan, langkahnya seakan tertahan, ingin sekali ia membalikkan badan dan memaki pria dibelakangnya yang masih berdiri menatap punggungnya. Namun apalah daya gadis itu, gadis itupun menangis, menangis bersama derasnya hujan, menangis tanpa suara. Hatinya pun sakit, sakit yang tiada terkira, ingin sekali ia berteriak, namun ia tetap melangkah dan meninggalkan Bian diderasnya hujan.
            Langit senja disore hari, matahari kuning keemasan seakan menolak untuk turun dari langit, semburat cahayanya memanjakan mata siapa saja yang menatap. Bersembunyi malu dibalik gedung bertingkat, kicauan burung gereja terbang kesana kemari mencari tempat pulang, memberi kabar kesemua populasinya bahwa hari akan menjelang malam. Mata sendu yang dari tadi menatap senja, jemarinya memilin-milin kelopak mawah putih, duduk menikmati petang dalam kesendirian. Membayangkan masa depan yang masih suci, memaksakan takdir untuk tetap berpihak dan bersembunyi dibalik sejuta kecemasan. Seolah bercengkrama dengan mentari senja. Sangat menyukai suasana ini, suasana sendiri dan sepi.
            “Pergilah Nay, jika kau ingin menguji cintaku, maka pergilah sejauh mungkin kau bisa pergi, sampai aku tidak bisa menemukanmu diujung bumi sekalipun. Ujilah cintaku Nay, bahkan saat hujan ini tak akan berhentipun aku akan tetap menunggu dan mencintaimu. Aku akan menikahimu Naysha”. Sejak dua tahun lalu, kalimat itu selalu teringat dibenak Naysha, setelah pergi meninggalkan Bian pria yang sangat Ia cintai sejak empat tahun lalu pertemuan mereka dikoridor kampus, bahkan rasa cinta itu masih merayap setiap saat dikesendirian Naysha. Pria yang selalu Ia impikan menjadi sosok setia yang menemaninya disetiap keadaan sulit dan senang. Begitu banyak angan Naysha. Tapi sejak dua tahun lalu saat hujan mengguyur dan menguji cinta mereka, ketika Bian berterik pada hujan, ketika Naysha menangis sesenggukan meninggalkan pria yang Ia cintai. Semuanya berlalu begitu cepat namun tetap menyisakan kepedihan. Tak ada kabar dari Bian, tak ada cerita apa-apa lagi dari Bian, pertemuan yang terakhir ditengah derasnya Hujan.
Naysha menggenggam erat pulpen yang digenggamnya, erat sekali, tangannya memerah bergetar. Dadanya sesak, sesak sekali, ingin sekali ia melupakan, sesegera mungkin melupakan sosok yang setiap saat hadir menjadi arah mimpinya, berhenti bermimpi dan mulai melepaskan. Naysha menangis sejadi-jadinya, bagaimana mungkin dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, ia masih teringat dan merindukan sosok yang ia tinggalkan pergi tanpa pesan apapun. Mata itu begitu terluka, hati yang tetap sama, kemanapun Naysha pergi, hatinya akan tetap sama, membawa pergi cinta yang berpendan teruntuk Bian.
“Cekrek...” Pintu ruangan terbuka perlahan, sosok pria tua kisaran 50 tahun membuka pintu dari luar, membawa kantong kresek berisi makanan. Menatap pilu gadis yang duduk sendirian di atas kursi roda menatap keluar jendela. “Nay, ayah bawakan makan untukmu, kamu pasti bosan makan makanan rumah sakit setiap hari. Ayah bawakan nasi ayam bakar untukmu, ayah juga bawakan sate ayam. Kamu pasti suka, ayo Nay, makan sama ayah.” Sibuk membuka kantong yang ia bawa meletakkan makanan diatas meja. “Waaaah, terima kasih ayah, Nay memang bosan makanan rumah sakit yang itu-itu terus, akhirnya, Nay bisa makan ayam bakar dan sate.” Gadis yang dipanggil Nay itu membalikkan kursi rodanya, dan mendekati meja makan. “Nay mau ayah yang suapin, suapin Nay ya yah”. Gadis itu menatap lamat-lamat pria tua didepannya. Dengan anggukan pertanda setuju, pria itu mengangkat tangganya lalu menyuapkan nasi kemulut Nay, matanya berkaca-kaca, tangannya gemetar, dengan sigap ia seka matanya agar tak meneteskan air mata didepan puteri tersayangnya Naysha.
            Koridor rumah sakit yang begitu akrab dan tak asing bagi gadis berkursi roda itu, setiap hari ia hilir mudik dikoridor, mendorong kursi rodanya menikmati angin taman rumah sakit, bertemu dan bertatap muka dengan dokter-dokter yang hampir ia hapal semua nama-namanya. Pasien yang terus bertambah, berbagai keluhan penyakit yang dialami, kadang ada yang meninggal, lalu beberapa detik kemudian ada yang lahir, bau obat yang menusuk bulu-bulu hidung telah akrab bagi Naysha. Sejak dua tahun lalu ia menempati rumah sakit ini sebagai rumah kedua. Waktu yang ia habiskan untuk menelan semua pil kapsul rumah sakit, kemoterapi yang ia jalani menghabiskan biaya yang tak besar. Sesekali Naysha menyemangati dirinya sendiri, berusaha keras untuk kembali bangkit dan melupakan nestapa tentang penyakit mematikan yang bisa sesegera mungkin menyelesaikan takdir hidupnya. Naysha. Gadis empat tahun lalu yang duduk dibangku kuliah ilmu kesehatan, gadis manis berambut panjang hitam lurus, gadis periang penuh semangat. Duduk disemester enam, dunianya yang penuh dengan bahagia, tawa canda dan semangat, tiba-tiba sirna membuat gambar hidupnya menjadi gelap. Naysha divonis mengidap penyakit kanker otak. Kanker yang menggerogoti semangatnya dahulu, perlahan membuat tubuh manisnya yang tinggi, cahaya wajahnya yang berseri menjadi kacau pucat pasi. Tepat ketika Bian berdiri dihadapannya menyatakan cinta dan akan menikahinya. Hari dimana Naysha masih berdiri tegak dan berusaha kuat meski sakit yang ia rasakan.
            “Silahkan adek-adek yang mau ambil coklat dan balonnya, ayo kemari..”. Pria tampan yang dikawal dua orang perawat cantik berdiri ditaman rumah sakit digeromboli beberapa anak kecil berebut meminta balon dan coklat. Rumah sakit yang seharusnya digambarkan penuh dengan kesedihan dan nestapa. Namun disini, rumah sakit yang dikenal dengan penuh kasih sayang dan jutaan cerita. “Nay tunggu disini ya, ayah ambilkan resep obat Nay dulu.” Pria tua yang begitu sabar mendampingi puteri tersayangnya. Bergegas meninggalkan Naysha diruang tunggu. Mata Naysha menatap sekitar, diluar taman begitu ramai suara sorak sorai bahagia, sebahagia itukah berada dirumah sakit ini. Begitu pikir hati Naysha. “Tante kan juga sakit, ini balon buat tante, kata om ganteng, kalo sakit dikasi balon, pasti cepat sembuh, tante juga cepat sembuh ya.” Gadis kecil yang polos, berlari meninggalkan Naysha yang memegang balon berwarna merah muda, ada tulisan nama dibalonnyo, bertuliskan Putra. “Hah, dia pikir untuk sembuh cukup dengan bahagia menerima balon pemberiannya, menipu anak kecil seperti itu, sungguh membuatku jengkel.” Dengus Naysha masih memegang balon seperti berbicara kepada benda mati ditangannya. “Balon dari siapa Nay?” Ayah mendorong kursi roda Naysha perlahan meninggalkan ruang tunggu. “Tidak tahu, anak kecil memberikan pada Nay”.
            Lagi-lagi senja disore hari selalu menemani waktu sore Naysha di taman rumah sakit, menikmati senja dikesendirian. Ingin sekali ia berlari dari tempat ini, bangkit dan mengejar mimpinya yang sempat tertunda, menjadi seorang menteri kesehatan, bukan menjadi pasien seperti sekarang ini. Ingin pula rasanya ia mengutuk diri sendiri, bahkan berdiri dikaki sendiripun ia tak mampu. Namun sosok pria tua yang selalu menemaninya dengan telaten dan sabar, membuat ia kembali merenung, bahwa pria tua itu tak ingin hidup sendiri setelah kepergian wanita yang ia cintai. Hanya Naysha yang penyakitan inilah yang ia miliki. Berjuang untuk hidup demi ayah adalah impian Naysha saat ini, bukan lagi menjadi menteri kesehatan. Gerimis membasahi daun-daun taman rumah sakit, senja sesegera mungkin terbenam diufuk barat. Naysha tak ingin beranjak dari tempat ini, ia ingin bernostalgia bersama rintik hujan. Bahkan jika ia harus menangis lagi untuk kesekian kalinya.
            “Apa kau tidak tahu kalau yang jatuh ini hujan”. Pria berseragam putih berdiri dibelakang memayungi Naysha yang masih duduk menatap bunga-bunga taman yang sudah basah. “Tinggalkan aku.” Tanpa menoleh Naysha masih diam menangis dalam diam. “Kau ini keras kepala, kalau saja ada dokter lain yang melihat pasiennya hujan-hujanan begini, entahlah apa yang terjadi, kau tidak tahu ya, kalau dokter disini begitu cerewet.” Pria itu mencoba memberikan penjelasan konyol kepada Naysha yang dari tadi tidak menoleh sedikitpun kepadanya. “Pergilah”. Jawab Naysha singkat. “Baiklah, aku akan pergi, kuletakkan payungnya disini, biar kau tidak kehujanan.” Sebelum pria itu pergi, ia menuliskan sesuatu di tali payung miliknya, meletakkan payung disebelah kursi roda Naysha yang masih diam. Pria itu menulis sebuah nama. Putra.
            “Putra, nama lelaki itu Putra, aku bahkan tidak pernah mendengar nama itu dirumah sakit ini.” Naysha merapikan payung yang basah itu setelah kembali kekamar inap. Hujan diluar semakin deras, dingin pun menyelinap masuk kedalam ruangan. “Naysha sudah kembali, hujan begini jangan terlalu sering keluar ya, nanti kamu masuk angin, ayo kita cek dulu ya Nay.” Dokter separuh baya yang juga cukup sabar membantu Naysha selama dirumah sakit. Sambil mengontrol obat dan mengganti selang infus, dokter selesai memeriksa pasien setianya selama dua tahun. “Dokter, apa dokter mengenal pasien yang bernama Putra?” Naysha bertanya gugup. “Putra..” Mencoba mengingat-ingat. “Tidak ada pasien yang bernama Putra yang saya tangani, kenapa Nay?” Pria tadi sore yang memberikan payung kepada Naysha diperkirakan juga pasien rumah sakit. “Ah tidak apa-apa dok, terima kasih.” Dokter berlalu meninggalkan Naysha dengan senyuman.
            Naysha memutuskan untuk menggantung payung itu didepan kamar inapnya. Kalau-kalau pria itu lewat dan mengenali payungnya. “Ayah, Nay mau kemakam ibu hari ini, bolehkan yah?” Naysha memasang wajah polos agar mendapat izin keluar. “Boleh, ayah akan coba izin pihak rumah sakit dulu untuk jadwal keluarmu ya.” Dengan wajah bahagia Naysha bersemangat mengangguk. Untuk pertama kalinya ia keluar dari rumah sakit, meskipun ia keluar untuk ziarah kemakam ibu.
            “Terima kasih payungnya. Pesan singkat yang tergantung didepan pintu kamar inap Naysha telah ditemukan pria berseragam putih kemarin sore, hari ini ia melewati kamar inap Naysha setelah melaksanakan operasi jantung pada pasiennya. “Gadis itu dirawat disini ternyata.” Ia tersenyum setelah membaca pesan singkat Naysha, dan mengintip ruangan yang kosong. “Ah, dokter disini? Sudah selesai operasinya?” Dokter yang biasa merawat Naysha menyapa pria didepannya yang berdiri didepan kamar Naysha sambil memegang payung ditangannya. “Iya, saya baru keluar dok, oh ya, dokter yang menangani pasien kamar ini?” Sambil melirik kearah kamar yang kosong. “Iya, sudah dua tahun dia dirawat dirumah sakit ini, masih belum ada perkembangan yang lebih baik, kanker otak stadium empat yang menimpanya, masih terlalu muda.” Dokter separuh baya itu menundukkan kepalanya menghembuskan napas prihatin. “Kemana dia, kenapa ruangannya kosong?” Pria yang ternyata dokter itu bertanya lagi. “Baru saja ia keluar bersama ayahnya kemakam ibunya.” Dokter itu melirik kearah payung yang dipegang dokter tampan. “Payung itu, yang kemarin dipegang oleh Naysha kan?” Bingung lalu tersenyum. “Naysha?” Bertanya dengan nada terkejut. “Iya, nama pasien itu Naysha.”
            Malam yang dingin dicuaca penghujan seperti saat ini, dokter tampan yang dari tadi mondar mandir seakan menunggu seseorang dipintu depan rumah sakit. Pukul 20.19. Pria tampan itu meremas kepalanya dan mengutuk-ngutuk dirinya yang dari tadi menunggu dengan gelisah. Wajahnya ingin sekali marah, melampiaskan segalanya pada apapun yang ada dihadapannya, wajah ramah dan tampan itu berubah menjadi beringas, wajah penuh luka dan kepedihan, matanya memerah, ingin sekali ia berteriak memaki siapa saja. “Dokter, sedang ada pasien darurat, segera keruang operasi.” Perawat cantik yang berlari terhuyung-huyung kearahnya menjelaskan bahwa ada hal yang lebih darurat daripada perasaannya saat ini. “Sial.” Ia mendengus kesal.
            “Ayah, terima kasih, kalau saja Nay tidak kembali kerumah sakit, Nay ingin sekali tidur dirumah malam ini, Nay rindu kamar yah, ayah pasti setiap hari merapikan kamar Nay agar tidak berdebu kan.” Wajah manis itu bersandar dibahu sang ayah sambil memeluk manja. “Hahaha, bukannya Nay sendiri yang meminta ayah untuk menjaga kamar Nay, bahkan buku-buku Nay masih bersih tanpa debu sedikitpun, tenang Nay, sebentar lagi Nay akan kembali kekamar.” Wajah tua itu semakin lelah menatap lamat-lamat puterinya yang semakin pucat. “Ayah, kalau Nay pergi, Nay minta agar ayah tidak menangis, kalau ayah ingin menangis, silahkan menangis dibalik bantal, agar Nay tidak melihat ayah yang cengeng.” Naysha tersenyum, karena tiga tahun lalu Naysha mendapati ayahnya menangis dibalik bantal karena kepergian ibu. “Nay jangan bilang begitu, secepatnya kita akan segera pulang Nay.” Ayah menyeka matanya yang hampir saja jatuh mengenai pipi Naysha. Ruang kamar inap lengang. Naysha tertidur dipelukan ayah, pria tua yang masih saja kuat memberikan bahunya.
            “Nay, Naysha.” Samar-samar gadis yang dipanggil Naysha itu membuka mata perlahan, suara yang tidak asing lagi ditelinganya, suara yang selalu Naysha rindukan, suara impian Naysha dimasa depan yang akan ia dengar setiap hari. Perlahan matanya terbuka, cahaya lampu menyilaukan mata. “Kenapa Nay, kenapa harus ini alasan kamu pergi meninggalkan aku. Nay, jangan lakukan ini lagi.” Tangan lembut menggenggam tangan Naysha, tangan yang begitu lemah, jari-jari yang tidak mampu lagi bergerak, kaku dan hanya diam. Namun tangan pria yang baru saja berbicara itu tetap menggenggam tangan Naysha. Mata Naysha mencoba mengingat dan mengenali siapa pria dihadapannya yang begitu lancang menggenggam tanganya seperti itu. Namun Naysha sudah lelah, kepalanya terlalu berat untuk mengingat. “Siapkan ruang operasi, lakukan segera.”
            “Aku juga mencintaimu Bian, bahkan sebelum kau nyatakan perasaanmu hari ini, aku tidak ingin berlari dan pergi meninggalkanmu, seandainya kau tahu, bahwa aku ingin sekali memaksakan takdir untuk tetap bersamamu. Maafkan aku Bian.” Naysha menangis sejadi-jadinya diguyur derasnya hujan, tak ada seorangpun yang tahu bahwa ada dua makhluk yang saling mencintai menangis bodoh diderasnya hujan. Melepaskan dan beranjak pergi.
            Ruangan hening, hanya ada dokter tampan dan Naysha yang masih lemas belum sadarkan diri setelah operasi dilakukan. Dokter tampan itu menatap lamat-lamat gadis didepannya, matanya berkaca-kaca menahan perih yang tak terkira, tak ada seorangpun yang tahu tentang sakit yang ia rasakan selama ini, sungguh tak ada seorangpun yang mampu memahaminya. Lama sekali waktu berlalu, semua orang cemas menunggu diluar. Hanya dokter tampan yang keras kepalalah yang memaksa masuk kedalam ruangan.
            “Aku akan memaksakan takdir untuk berpihak kepada kita Nay, aku tidak ingin kehilanganmu lagi.” Pria tampan itu meninggalkan ruangan dengan wajah penuh pedih penderitaan. Memaksa takdir untuk berpihak kepadanya, memaksakan cerita yang ingin ia buat sendiri endingnya. Namun apalah arti pertemuan, jika perpisahan pun tetap ada.

            “Bukan hanya kau nak, pria tua inipun begitu sakit melihat anak perempuannya begitu lemah terbaring didalam sana. Dua tahun aku menemani Nay dirumah sakit ini. Hanya dia yang kumiliki.” Pria tua itu menundukkan kepalanya dan menangis, setelah menatap prihatin pria tampan didepannya. “Nay pasti sembuh, bahkan aku akan melakukan apapun untuk kesembuhan dan kebahagiaan Nay.” Pria tua itu mengangkat kepalanya dan memeluk erat pria tampan yang dari tadi berharap sama besarnya.
            Lebih dari 24 jam, Naysha masih terbaring tanpa membuka mata, kondisinya semakin lemah, harap cemas dan khawatir diluar sana menunggu. “Ayolah Nay, haruskah aku menunggumu lebih lama lagi setelah sekian lama pertemuan kita.” Desah hati pria tampan berseragam putih. “Siapa namamu nak? Kenapa kau begitu mengkhawatirkan Nay?” Ayah bertanya menatap mata pria berseragam putih yang dari tadi tidak bisa tenang. Ia menatap ayah dengan mata berkaca-kaca dan memeluk ayah tersedu dibahunya. Menumpahkan segala rasa yang selama ini ia pendam sejak Naysha terbaring dan belum ssadarkan diri. “Aku Bian, Bian Saputra, lelaki yang mencintai anakmu dan dua tahun lalu yang ingin menikahinya.” Pelukan seorang anak kepada sang ayah yang sedang bersedih, Bian tersedu masih memeluk ayah erat.
            “Kamu ingat tidak Nay, saat dikampus hijau itu, saat kau duduk dibangku taman menghabiskan dua mangkuk mie ayam, saat itu kau sangat kelaparan, kau bilang semalaman kau mengerjakan makalah dari dosen kiler itu, dan kau lembur sampai larut malam, kesiangan lalu tidak sarapan sampai siang hari. Perut karetmu mampu menampung mie sebanyak itu. Tawamu saat itu membuatku semakin menyukaimu. Dan saat diperpustakaan, kau menulis namaku dilembar notebookmu. Aku mengetahui itu Nay, aku tahu betul soal itu. Nay, saat kau bangun dari mimpi indahmu, aku akan membawamu ke danau kampus, aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu, dan Nay...” Suara Bian tercekat tidak mampu melanjutkan kalimatnya, pipinya telah basah, matanya tertutup perlahan dan menunduk disamping ranjang Naysha.           Bian tidak tahan dengan keadaan ini, wanita yang begitu lama ia cintai, tiba-tiba menghilang dari kehidupannya, dan kembali dipertemukan dalam keadaan yang begitu sulit untuk ia terima. Kaca jendela diluar mulai basah, hujan membasahi tanah, namun, air mata Bian telah lebih dulu membasahi hatinya. Hati yang begitu perih.
            “Ayah..” suara Naysha lirih pelan sekali terdengar. Lalu Naysha tersenyum tipis melihat pria tua didepannya. Bahwa ia masih bisa dengan sangat jelas menatap pria tua itu saat semua yang telah ia lalui. “Ayah disini Nay, ayah sangat bahagia kau sudah sadar, istirahatlah nak, jangan banyak bergerak.” Senyuman tulus terlihat jelas dari ayah yang mengelus rambut putrinya. “Hiduplah untukku nak.” Mencium kening Naysha. “Bersabarlah untukku ayah.” Naysha menggenggam tangan ayah lembut, sentuhan penuh kasih sayang. Setelah semua yang Naysha lalui, perjalanannya selama dua tahun berada dirumah sakit, kemo yang ia jalani, pil-kapsul yang selalu ia telan, jarum suntik yang tak habis-habisnya masuk menusuk kulit lembutnya. Semua begitu sulit bagi orang lain yang menjalani, namun bagi Naysha, kisah itu tidak begitu sulit, Naysha bertahan karena pria tua yang berada dihadapannya. Naysha membuka mata dan mampu tersenyum karena kekuatan cinta yang selalu mensugestikannya untuk tetap hidup dan bertahan. Bertahan dan melanjutkan kisah ini hingga akhir.
            Langit begitu cerah, biru bersih tanpa noda, lukisan yang maha indah. Naysha tak merasa jenuh memandang langit, Wajahnya tetap teduh dan manis, mendorong kursi roda ketaman rumah sakit, taman yang selalu ia kunjungi, yang membuatnya teringat akan sosok Rey, pria yang begitu ia cintai. Dua minggu setelah operasi. Naysha masih suka duduk ditaman rumah sakit, sendirian. “Emm?” Matanya bingung saat mendekati kursi taman, payung yang pernah ia lihat sebelumnya, yang bertuliskan nama Putra. Terpasang dibangku taman. Naysha menatap sekitar, tidak ada siapapun yang berada ditempat itu. Hanya Ia sendiri. “Payung ini.” Naysha tetap bingung dalam kesendiriannya. “Itu milik Putra nak, laki-laki itu Putra, ayah mengenalnya. Kau juga mengenalnya.” Ayah tiba-tiba muncul seperti jin yang mengagetkan Naysha. “Maksud ayah? Ayah tahu darimana?” Naysha mengerutkan keningnya semakin bingung. “Saat kau dioperasi, dia datang, datang sebagai sosok Putra, Bian Saputra. Laki-laki yang ingin menikahimu. Bahkan Ia sempat menangis dipelukan ayah. Menangisi keadaanmu, Ia sangat mencintaimu Nay.” Mata ayah berkaca-kaca menatap Naysha yang masih bingung. “Bian Saputra?” Mencoba memahami dari sebuah nama. “Iya Nay, Bian Saputra, Bian yang ingin menikahimu, yang sempat bertemu denganmu ditempat ini. Memayungimu dan memberikan balon kesembuhan itu.” Ayah kembali menjelaskan. “Dia dokter dirumah sakit ini, Ia mengenalkan namanya sebagai Putra. Pria kedua yang mencintaimu setelah ayah Nay, Bian begitu tulus mencintaimu. Bahkan saat kau sadarkan diri, Ia langsung memutuskan untuk segera menikahimu. Tidak ada cinta yang begitu menyedihkan Nay.” Ayah mengelus kepala Naysha yang telah memahami maksud pembicaraan ayah. “Lalu dimana Bian ayah?” Naysha menatap ayah dengan mata berkaca-kaca seakan tidak mempercayai yang baru saja pria tua itu ucapkan.
            “Saya terima nikahnya dan kawinnya, Naysha Siregar. Binti Ahmad Siregar dengan mas kawin cincin 200 gram. Dibayar tunai.” Sah. Pernikahan yang ingin Bian laksanakan sejak dua tahun lalu, meskipun wanita yang Ia cintai masih terbaring tak sadarkan diri. “Nay, kau telah halal untukku, maafkan aku Nay yang begitu egois begitu ingin memilikimu. Maafkan aku Nay, tapi aku begitu mencintaimu. Cinta yang dari dulu hingga detik ini tetap sama. Kau istriku Nay, bangunlah sayang. Aku akan membawamu ketempat yang begitu kau rindukan. Aku akan membuatmu bahagia, bersamaku Nay. Hanya bersamaku.” Bian mencium kening Naysha, lalu mengecup bibir Naysha lembut, air matanya tumpah membasahi pipi Naysha yang masih diam tanpa sepatah katapun.
            Pusara masih basah, wangi bunga mawar masih harum diatasnya. Lembab dan segar. Angin semilir memaksa bertiup, membuat suasana semakin pekat dalam duka. Tangisan tanpa suara yang tertahan. Seakan tak percaya. Nisan nama bertuliskan “Bian Saputra. Lahir:12 Maret 1987. Wafat:2011”
            Ayah menatap Naysha penuh kesedihan, luka berusaha memisahkan keduanya. Namun takdir memaksa untuk mereka selalu bersama. Tanpa pertemuan dan kisah yang berakhir bahagia. “Bian mengalami kecelakaan Nay, saat Ia akan mempersiapkan tempat terindah untukmu. Bahkan ayah tidak tahu tempat apa yang Bian maksud. Maafkan ayah Nay. Jangan bersedih sayang.” Ayah memeluk Naysha yang menangis tersedu-sedu mendengar kisah hidupnya, yang bahkan tidak Ia ketahui bahwa Ia telah menjadi istri Bian hanya dalam satu hari. Meninggalkan Naysha bahkan untuk selamanya.
            “Ini tempat yang kau maksud Bian. Tempat ketika kau meninggalkanku, bahkan belum sempat aku melihatmu sekali saja. Mengucapkan selamat tinggal. Menitipkan sebuah pesan. Kenapa Bian, kenapa kau masih tetap tinggal dihatiku. Bahkan saat kau pergi, kaupun membawa hatiku. Bahkan aku tidak bisa merasakan kecupan bibirmu. Tidak Bian, sama sekali aku tidak merasakannya. Menyaksikan tanganmu berjabat dengan ayah untuk menikahiku. Aku hidup Bian, aku masih hidup detik ini, berdiri dipusaramu. Aku hidup untuk ayah, dan untukmu, yang saat aku melawati segalanya, aku berharap akan dipertemukan lagi bersamamu. Aku tetap mencintaimu meskipun kau ada dan tidak ada sekalipun.” Suara hati Naysha begitu lirih, air matanya tak terbendung lagi. Luapan rasa rindu, cinta, dan kehilangan. Rasa bercampur aduk yang menyulitkan hatinya. Kehilangan yang tidak pernah Ia inginkan. Bahkan belum sempat Ia nyatakan bahwa Bian adalah salah satu pria yang membuatnya untuk bertahan hidup.
            “Aku ingin Bian, aku ingin sekali menjadi wanita satu-satunya yang berada dalam hidupmu. Aku ingin Bian, tapi aku tidak ingin membagi dukaku kepadamu. Lupakan aku Bian. Jika itu cinta, Ia tetap akan ada. Bahkan utuh tak berkurang sedikitpun.” Naysha memejamkan mata, untuk kedua kalinya Ia meninggalkan Bian. Pertama dibawah guyuran hujan, kedua, dipusara nisan.

                       

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar