“Aku mencintaimu
Naysha, aku ingin menikahimu, menjadikanmu ibu untuk anak-anakku. Aku tahu kau
pun begitu mencintaiku”. Gerimis masih saja tak mau berhenti
setelah mendengar kalimat romantis dan pilu dari seorang pria yang baru saja
melamar seorang gadis manis lembut perangainya. “Cinta? Apa kau tahu Bian? cinta yang baru saja kau katakan itu tentang
apa. Apa kau mampu menerima semua kekuranganku? Tetap berada disisiku meskipun
langit runtuh, bahkan tempat ini akan hancur lebur?” Gadis bernama Nasysha
menatap lembut pria didepannya yang
hampir kebasahan terkena tetes hujan. Matanya yang penuh kasih namun tak mampu
lagi berucap banyak. “Aku mencintaimu
Naysha, seribu kali kau tanya arti cintaku, aku akan tetap mencintaimu, aku
akan menikahimu. Kekurangan yang kau miliki, aku pun begitu, mungkin
kekuranganku lebih banyak daripada yang kau miliki. Bahkan jika hari ini kau
tak menjawab tentang perasaanku, aku bahkan akan tetap terus mencintaimu.” Matanya
berkaca-kaca, namun tetes hujan semakin menghantam tanah dan menutupi mata
tulus itu. Naysha meninggalkan Bian yang masih berdiri terpaku diguyur hujan,
namun langkah Naysha tak secepat guyuran hujan, langkahnya seakan tertahan,
ingin sekali ia membalikkan badan dan memaki pria dibelakangnya yang masih
berdiri menatap punggungnya. Namun apalah daya gadis itu, gadis itupun
menangis, menangis bersama derasnya hujan, menangis tanpa suara. Hatinya pun
sakit, sakit yang tiada terkira, ingin sekali ia berteriak, namun ia tetap
melangkah dan meninggalkan Bian diderasnya hujan.
Langit senja disore hari, matahari
kuning keemasan seakan menolak untuk turun dari langit, semburat cahayanya
memanjakan mata siapa saja yang menatap. Bersembunyi malu dibalik gedung
bertingkat, kicauan burung gereja terbang kesana kemari mencari tempat pulang,
memberi kabar kesemua populasinya bahwa hari akan menjelang malam. Mata sendu
yang dari tadi menatap senja, jemarinya memilin-milin kelopak mawah putih,
duduk menikmati petang dalam kesendirian. Membayangkan masa depan yang masih
suci, memaksakan takdir untuk tetap berpihak dan bersembunyi dibalik sejuta
kecemasan. Seolah bercengkrama dengan mentari senja. Sangat menyukai suasana
ini, suasana sendiri dan sepi.
“Pergilah
Nay, jika kau ingin menguji cintaku, maka pergilah sejauh mungkin kau bisa
pergi, sampai aku tidak bisa menemukanmu diujung bumi sekalipun. Ujilah cintaku
Nay, bahkan saat hujan ini tak akan berhentipun aku akan tetap menunggu dan
mencintaimu. Aku akan menikahimu Naysha”. Sejak dua tahun lalu, kalimat itu
selalu teringat dibenak Naysha, setelah pergi meninggalkan Bian pria yang
sangat Ia cintai sejak empat tahun lalu pertemuan mereka dikoridor kampus,
bahkan rasa cinta itu masih merayap setiap saat dikesendirian Naysha. Pria yang
selalu Ia impikan menjadi sosok setia yang menemaninya disetiap keadaan sulit
dan senang. Begitu banyak angan Naysha. Tapi sejak dua tahun lalu saat hujan
mengguyur dan menguji cinta mereka, ketika Bian berterik pada hujan, ketika
Naysha menangis sesenggukan meninggalkan pria yang Ia cintai. Semuanya berlalu
begitu cepat namun tetap menyisakan kepedihan. Tak ada kabar dari Bian, tak ada
cerita apa-apa lagi dari Bian, pertemuan yang terakhir ditengah derasnya Hujan.
Naysha
menggenggam erat pulpen yang digenggamnya, erat sekali, tangannya memerah
bergetar. Dadanya sesak, sesak sekali, ingin sekali ia melupakan, sesegera
mungkin melupakan sosok yang setiap saat hadir menjadi arah mimpinya, berhenti
bermimpi dan mulai melepaskan. Naysha menangis sejadi-jadinya, bagaimana
mungkin dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, ia masih teringat dan
merindukan sosok yang ia tinggalkan pergi tanpa pesan apapun. Mata itu begitu
terluka, hati yang tetap sama, kemanapun Naysha pergi, hatinya akan tetap sama,
membawa pergi cinta yang berpendan teruntuk Bian.
“Cekrek...” Pintu
ruangan terbuka perlahan, sosok pria tua kisaran 50 tahun membuka pintu dari
luar, membawa kantong kresek berisi makanan. Menatap pilu gadis yang duduk
sendirian di atas kursi roda menatap keluar jendela. “Nay, ayah bawakan makan untukmu, kamu pasti bosan makan makanan rumah
sakit setiap hari. Ayah bawakan nasi ayam bakar untukmu, ayah juga bawakan sate
ayam. Kamu pasti suka, ayo Nay, makan sama ayah.” Sibuk membuka kantong
yang ia bawa meletakkan makanan diatas meja. “Waaaah, terima kasih ayah, Nay memang bosan makanan rumah sakit yang
itu-itu terus, akhirnya, Nay bisa makan ayam bakar dan sate.” Gadis yang
dipanggil Nay itu membalikkan kursi rodanya, dan mendekati meja makan. “Nay mau ayah yang suapin, suapin Nay ya
yah”. Gadis itu menatap lamat-lamat pria tua didepannya. Dengan anggukan
pertanda setuju, pria itu mengangkat tangganya lalu menyuapkan nasi kemulut
Nay, matanya berkaca-kaca, tangannya gemetar, dengan sigap ia seka matanya agar
tak meneteskan air mata didepan puteri tersayangnya Naysha.
Koridor
rumah sakit yang begitu akrab dan tak asing bagi gadis berkursi roda itu,
setiap hari ia hilir mudik dikoridor, mendorong kursi rodanya menikmati angin
taman rumah sakit, bertemu dan bertatap muka dengan dokter-dokter yang hampir
ia hapal semua nama-namanya. Pasien yang terus bertambah, berbagai keluhan
penyakit yang dialami, kadang ada yang meninggal, lalu beberapa detik kemudian
ada yang lahir, bau obat yang menusuk bulu-bulu hidung telah akrab bagi Naysha.
Sejak dua tahun lalu ia menempati rumah sakit ini sebagai rumah kedua. Waktu
yang ia habiskan untuk menelan semua pil kapsul rumah sakit, kemoterapi yang ia
jalani menghabiskan biaya yang tak besar. Sesekali Naysha menyemangati dirinya
sendiri, berusaha keras untuk kembali bangkit dan melupakan nestapa tentang
penyakit mematikan yang bisa sesegera mungkin menyelesaikan takdir hidupnya.
Naysha. Gadis empat tahun lalu yang duduk dibangku kuliah ilmu kesehatan, gadis
manis berambut panjang hitam lurus, gadis periang penuh semangat. Duduk
disemester enam, dunianya yang penuh dengan bahagia, tawa canda dan semangat,
tiba-tiba sirna membuat gambar hidupnya menjadi gelap. Naysha divonis mengidap
penyakit kanker otak. Kanker yang menggerogoti semangatnya dahulu, perlahan
membuat tubuh manisnya yang tinggi, cahaya wajahnya yang berseri menjadi kacau
pucat pasi. Tepat ketika Bian berdiri dihadapannya menyatakan cinta dan akan
menikahinya. Hari dimana Naysha masih berdiri tegak dan berusaha kuat meski
sakit yang ia rasakan.
“Silahkan
adek-adek yang mau ambil coklat dan balonnya, ayo kemari..”. Pria tampan
yang dikawal dua orang perawat cantik berdiri ditaman rumah sakit digeromboli
beberapa anak kecil berebut meminta balon dan coklat. Rumah sakit yang
seharusnya digambarkan penuh dengan kesedihan dan nestapa. Namun disini, rumah
sakit yang dikenal dengan penuh kasih sayang dan jutaan cerita. “Nay tunggu disini ya, ayah ambilkan resep
obat Nay dulu.” Pria tua yang begitu sabar mendampingi puteri tersayangnya.
Bergegas meninggalkan Naysha diruang tunggu. Mata Naysha menatap sekitar,
diluar taman begitu ramai suara sorak sorai bahagia, sebahagia itukah berada
dirumah sakit ini. Begitu pikir hati Naysha. “Tante kan juga sakit, ini balon buat tante, kata om ganteng, kalo
sakit dikasi balon, pasti cepat sembuh, tante juga cepat sembuh ya.” Gadis
kecil yang polos, berlari meninggalkan Naysha yang memegang balon berwarna
merah muda, ada tulisan nama dibalonnyo, bertuliskan Putra. “Hah, dia pikir untuk sembuh cukup dengan
bahagia menerima balon pemberiannya, menipu anak kecil seperti itu, sungguh
membuatku jengkel.” Dengus Naysha masih memegang balon seperti berbicara
kepada benda mati ditangannya. “Balon
dari siapa Nay?” Ayah mendorong kursi roda Naysha perlahan meninggalkan
ruang tunggu. “Tidak tahu, anak kecil
memberikan pada Nay”.
Lagi-lagi senja disore hari selalu
menemani waktu sore Naysha di taman rumah sakit, menikmati senja dikesendirian.
Ingin sekali ia berlari dari tempat ini, bangkit dan mengejar mimpinya yang
sempat tertunda, menjadi seorang menteri kesehatan, bukan menjadi pasien
seperti sekarang ini. Ingin pula rasanya ia mengutuk diri sendiri, bahkan
berdiri dikaki sendiripun ia tak mampu. Namun sosok pria tua yang selalu
menemaninya dengan telaten dan sabar, membuat ia kembali merenung, bahwa pria
tua itu tak ingin hidup sendiri setelah kepergian wanita yang ia cintai. Hanya
Naysha yang penyakitan inilah yang ia miliki. Berjuang untuk hidup demi ayah
adalah impian Naysha saat ini, bukan lagi menjadi menteri kesehatan. Gerimis
membasahi daun-daun taman rumah sakit, senja sesegera mungkin terbenam diufuk
barat. Naysha tak ingin beranjak dari tempat ini, ia ingin bernostalgia bersama
rintik hujan. Bahkan jika ia harus menangis lagi untuk kesekian kalinya.
“Apa
kau tidak tahu kalau yang jatuh ini hujan”. Pria berseragam putih berdiri
dibelakang memayungi Naysha yang masih duduk menatap bunga-bunga taman yang
sudah basah. “Tinggalkan aku.” Tanpa
menoleh Naysha masih diam menangis dalam diam. “Kau ini keras kepala, kalau saja ada dokter lain yang melihat
pasiennya hujan-hujanan begini, entahlah apa yang terjadi, kau tidak tahu ya,
kalau dokter disini begitu cerewet.” Pria itu mencoba memberikan penjelasan
konyol kepada Naysha yang dari tadi tidak menoleh sedikitpun kepadanya. “Pergilah”. Jawab Naysha singkat. “Baiklah, aku akan pergi, kuletakkan
payungnya disini, biar kau tidak kehujanan.” Sebelum pria itu pergi, ia
menuliskan sesuatu di tali payung miliknya, meletakkan payung disebelah kursi
roda Naysha yang masih diam. Pria itu menulis sebuah nama. Putra.
“Putra,
nama lelaki itu Putra, aku bahkan tidak pernah mendengar nama itu dirumah sakit
ini.” Naysha merapikan payung yang basah itu setelah kembali kekamar inap.
Hujan diluar semakin deras, dingin pun menyelinap masuk kedalam ruangan. “Naysha sudah kembali, hujan begini jangan
terlalu sering keluar ya, nanti kamu masuk angin, ayo kita cek dulu ya Nay.” Dokter
separuh baya yang juga cukup sabar membantu Naysha selama dirumah sakit. Sambil
mengontrol obat dan mengganti selang infus, dokter selesai memeriksa pasien
setianya selama dua tahun. “Dokter, apa
dokter mengenal pasien yang bernama Putra?” Naysha bertanya gugup. “Putra..” Mencoba mengingat-ingat. “Tidak ada pasien yang bernama Putra yang
saya tangani, kenapa Nay?” Pria tadi sore yang memberikan payung kepada
Naysha diperkirakan juga pasien rumah sakit. “Ah tidak apa-apa dok, terima kasih.” Dokter berlalu meninggalkan
Naysha dengan senyuman.
Naysha memutuskan untuk menggantung
payung itu didepan kamar inapnya. Kalau-kalau pria itu lewat dan mengenali
payungnya. “Ayah, Nay mau kemakam ibu
hari ini, bolehkan yah?” Naysha memasang wajah polos agar mendapat izin
keluar. “Boleh, ayah akan coba izin pihak
rumah sakit dulu untuk jadwal keluarmu ya.” Dengan wajah bahagia Naysha
bersemangat mengangguk. Untuk pertama kalinya ia keluar dari rumah sakit,
meskipun ia keluar untuk ziarah kemakam ibu.
“Terima
kasih payungnya.” Pesan singkat
yang tergantung didepan pintu kamar inap Naysha telah ditemukan pria berseragam
putih kemarin sore, hari ini ia melewati kamar inap Naysha setelah melaksanakan
operasi jantung pada pasiennya. “Gadis
itu dirawat disini ternyata.” Ia tersenyum setelah membaca pesan singkat
Naysha, dan mengintip ruangan yang kosong. “Ah,
dokter disini? Sudah selesai operasinya?” Dokter yang biasa merawat Naysha
menyapa pria didepannya yang berdiri didepan kamar Naysha sambil memegang
payung ditangannya. “Iya, saya baru
keluar dok, oh ya, dokter yang menangani pasien kamar ini?” Sambil melirik
kearah kamar yang kosong. “Iya, sudah dua
tahun dia dirawat dirumah sakit ini, masih belum ada perkembangan yang lebih
baik, kanker otak stadium empat yang menimpanya, masih terlalu muda.” Dokter
separuh baya itu menundukkan kepalanya menghembuskan napas prihatin. “Kemana dia, kenapa ruangannya kosong?” Pria
yang ternyata dokter itu bertanya lagi. “Baru
saja ia keluar bersama ayahnya kemakam ibunya.” Dokter itu melirik kearah
payung yang dipegang dokter tampan. “Payung
itu, yang kemarin dipegang oleh Naysha kan?” Bingung lalu tersenyum. “Naysha?” Bertanya dengan nada terkejut.
“Iya, nama pasien itu Naysha.”
Malam
yang dingin dicuaca penghujan seperti saat ini, dokter tampan yang dari tadi
mondar mandir seakan menunggu seseorang dipintu depan rumah sakit. Pukul 20.19.
Pria tampan itu meremas kepalanya dan mengutuk-ngutuk dirinya yang dari tadi
menunggu dengan gelisah. Wajahnya ingin sekali marah, melampiaskan segalanya
pada apapun yang ada dihadapannya, wajah ramah dan tampan itu berubah menjadi
beringas, wajah penuh luka dan kepedihan, matanya memerah, ingin sekali ia
berteriak memaki siapa saja. “Dokter,
sedang ada pasien darurat, segera keruang operasi.” Perawat cantik yang
berlari terhuyung-huyung kearahnya menjelaskan bahwa ada hal yang lebih darurat
daripada perasaannya saat ini. “Sial.” Ia
mendengus kesal.
“Ayah,
terima kasih, kalau saja Nay tidak kembali kerumah sakit, Nay ingin sekali
tidur dirumah malam ini, Nay rindu kamar yah, ayah pasti setiap hari merapikan
kamar Nay agar tidak berdebu kan.” Wajah manis itu bersandar dibahu sang
ayah sambil memeluk manja. “Hahaha,
bukannya Nay sendiri yang meminta ayah untuk menjaga kamar Nay, bahkan
buku-buku Nay masih bersih tanpa debu sedikitpun, tenang Nay, sebentar lagi Nay
akan kembali kekamar.” Wajah tua itu semakin lelah menatap lamat-lamat
puterinya yang semakin pucat. “Ayah,
kalau Nay pergi, Nay minta agar ayah tidak menangis, kalau ayah ingin menangis,
silahkan menangis dibalik bantal, agar Nay tidak melihat ayah yang cengeng.”
Naysha tersenyum, karena tiga tahun lalu Naysha mendapati ayahnya menangis
dibalik bantal karena kepergian ibu. “Nay
jangan bilang begitu, secepatnya kita akan segera pulang Nay.” Ayah menyeka
matanya yang hampir saja jatuh mengenai pipi Naysha. Ruang kamar inap lengang.
Naysha tertidur dipelukan ayah, pria tua yang masih saja kuat memberikan
bahunya.
“Nay,
Naysha.” Samar-samar gadis yang dipanggil Naysha itu membuka mata perlahan,
suara yang tidak asing lagi ditelinganya, suara yang selalu Naysha rindukan,
suara impian Naysha dimasa depan yang akan ia dengar setiap hari. Perlahan
matanya terbuka, cahaya lampu menyilaukan mata. “Kenapa Nay, kenapa harus ini alasan kamu pergi meninggalkan aku. Nay,
jangan lakukan ini lagi.” Tangan lembut menggenggam tangan Naysha, tangan yang
begitu lemah, jari-jari yang tidak mampu lagi bergerak, kaku dan hanya diam.
Namun tangan pria yang baru saja berbicara itu tetap menggenggam tangan Naysha.
Mata Naysha mencoba mengingat dan mengenali siapa pria dihadapannya yang begitu
lancang menggenggam tanganya seperti itu. Namun Naysha sudah lelah, kepalanya
terlalu berat untuk mengingat. “Siapkan
ruang operasi, lakukan segera.”
“Aku
juga mencintaimu Bian, bahkan sebelum kau nyatakan perasaanmu hari ini, aku
tidak ingin berlari dan pergi meninggalkanmu, seandainya kau tahu, bahwa aku
ingin sekali memaksakan takdir untuk tetap bersamamu. Maafkan aku Bian.” Naysha
menangis sejadi-jadinya diguyur derasnya hujan, tak ada seorangpun yang tahu
bahwa ada dua makhluk yang saling mencintai menangis bodoh diderasnya hujan.
Melepaskan dan beranjak pergi.
Ruangan hening, hanya ada dokter
tampan dan Naysha yang masih lemas belum sadarkan diri setelah operasi
dilakukan. Dokter tampan itu menatap lamat-lamat gadis didepannya, matanya
berkaca-kaca menahan perih yang tak terkira, tak ada seorangpun yang tahu
tentang sakit yang ia rasakan selama ini, sungguh tak ada seorangpun yang mampu
memahaminya. Lama sekali waktu berlalu, semua orang cemas menunggu diluar.
Hanya dokter tampan yang keras kepalalah yang memaksa masuk kedalam ruangan.
“Aku
akan memaksakan takdir untuk berpihak kepada kita Nay, aku tidak ingin
kehilanganmu lagi.” Pria tampan itu meninggalkan ruangan
dengan wajah penuh pedih penderitaan. Memaksa takdir untuk berpihak kepadanya,
memaksakan cerita yang ingin ia buat sendiri endingnya. Namun apalah arti
pertemuan, jika perpisahan pun tetap ada.
“Bukan
hanya kau nak, pria tua inipun begitu sakit melihat anak perempuannya begitu
lemah terbaring didalam sana. Dua tahun aku menemani Nay dirumah sakit ini.
Hanya dia yang kumiliki.” Pria tua itu menundukkan kepalanya dan menangis,
setelah menatap prihatin pria tampan didepannya. “Nay pasti sembuh, bahkan aku akan melakukan apapun untuk kesembuhan
dan kebahagiaan Nay.” Pria tua itu mengangkat kepalanya dan memeluk erat
pria tampan yang dari tadi berharap sama besarnya.
Lebih dari 24 jam, Naysha masih
terbaring tanpa membuka mata, kondisinya semakin lemah, harap cemas dan
khawatir diluar sana menunggu. “Ayolah
Nay, haruskah aku menunggumu lebih lama lagi setelah sekian lama pertemuan
kita.” Desah hati pria tampan berseragam putih. “Siapa namamu nak? Kenapa kau begitu mengkhawatirkan Nay?” Ayah
bertanya menatap mata pria berseragam putih yang dari tadi tidak bisa tenang.
Ia menatap ayah dengan mata berkaca-kaca dan memeluk ayah tersedu dibahunya.
Menumpahkan segala rasa yang selama ini ia pendam sejak Naysha terbaring dan
belum ssadarkan diri. “Aku Bian, Bian
Saputra, lelaki yang mencintai anakmu dan dua tahun lalu yang ingin
menikahinya.” Pelukan seorang anak kepada sang ayah yang sedang bersedih,
Bian tersedu masih memeluk ayah erat.
“Kamu
ingat tidak Nay, saat dikampus hijau itu, saat kau duduk dibangku taman
menghabiskan dua mangkuk mie ayam, saat itu kau sangat kelaparan, kau bilang
semalaman kau mengerjakan makalah dari dosen kiler itu, dan kau lembur sampai
larut malam, kesiangan lalu tidak sarapan sampai siang hari. Perut karetmu
mampu menampung mie sebanyak itu. Tawamu saat itu membuatku semakin menyukaimu.
Dan saat diperpustakaan, kau menulis namaku dilembar notebookmu. Aku mengetahui
itu Nay, aku tahu betul soal itu. Nay, saat kau bangun dari mimpi indahmu, aku
akan membawamu ke danau kampus, aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu, dan
Nay...” Suara Bian tercekat tidak mampu melanjutkan kalimatnya, pipinya
telah basah, matanya tertutup perlahan dan menunduk disamping ranjang Naysha. Bian tidak tahan dengan keadaan ini,
wanita yang begitu lama ia cintai, tiba-tiba menghilang dari kehidupannya, dan
kembali dipertemukan dalam keadaan yang begitu sulit untuk ia terima. Kaca
jendela diluar mulai basah, hujan membasahi tanah, namun, air mata Bian telah
lebih dulu membasahi hatinya. Hati yang begitu perih.
“Ayah..”
suara Naysha lirih pelan sekali terdengar. Lalu Naysha tersenyum tipis
melihat pria tua didepannya. Bahwa ia masih bisa dengan sangat jelas menatap
pria tua itu saat semua yang telah ia lalui. “Ayah disini Nay, ayah sangat bahagia kau sudah sadar, istirahatlah
nak, jangan banyak bergerak.” Senyuman tulus terlihat jelas dari ayah yang
mengelus rambut putrinya. “Hiduplah
untukku nak.” Mencium kening Naysha. “Bersabarlah
untukku ayah.” Naysha menggenggam tangan ayah lembut, sentuhan penuh kasih
sayang. Setelah semua yang Naysha lalui, perjalanannya selama dua tahun berada
dirumah sakit, kemo yang ia jalani, pil-kapsul yang selalu ia telan, jarum
suntik yang tak habis-habisnya masuk menusuk kulit lembutnya. Semua begitu
sulit bagi orang lain yang menjalani, namun bagi Naysha, kisah itu tidak begitu
sulit, Naysha bertahan karena pria tua yang berada dihadapannya. Naysha membuka
mata dan mampu tersenyum karena kekuatan cinta yang selalu mensugestikannya
untuk tetap hidup dan bertahan. Bertahan dan melanjutkan kisah ini hingga
akhir.
Langit begitu cerah, biru bersih
tanpa noda, lukisan yang maha indah. Naysha tak merasa jenuh memandang langit,
Wajahnya tetap teduh dan manis, mendorong kursi roda ketaman rumah sakit, taman
yang selalu ia kunjungi, yang membuatnya teringat akan sosok Rey, pria yang
begitu ia cintai. Dua minggu setelah operasi. Naysha masih suka duduk ditaman
rumah sakit, sendirian. “Emm?” Matanya
bingung saat mendekati kursi taman, payung yang pernah ia lihat sebelumnya,
yang bertuliskan nama Putra. Terpasang dibangku taman. Naysha menatap sekitar,
tidak ada siapapun yang berada ditempat itu. Hanya Ia sendiri. “Payung ini.” Naysha tetap bingung dalam
kesendiriannya. “Itu milik Putra nak,
laki-laki itu Putra, ayah mengenalnya. Kau juga mengenalnya.” Ayah
tiba-tiba muncul seperti jin yang mengagetkan Naysha. “Maksud ayah? Ayah tahu darimana?” Naysha mengerutkan keningnya
semakin bingung. “Saat kau dioperasi, dia
datang, datang sebagai sosok Putra, Bian Saputra. Laki-laki yang ingin
menikahimu. Bahkan Ia sempat menangis dipelukan ayah. Menangisi keadaanmu, Ia
sangat mencintaimu Nay.” Mata ayah berkaca-kaca menatap Naysha yang masih
bingung. “Bian Saputra?” Mencoba
memahami dari sebuah nama. “Iya Nay, Bian
Saputra, Bian yang ingin menikahimu, yang sempat bertemu denganmu ditempat ini.
Memayungimu dan memberikan balon kesembuhan itu.” Ayah kembali menjelaskan.
“Dia dokter dirumah sakit ini, Ia
mengenalkan namanya sebagai Putra. Pria kedua yang mencintaimu setelah ayah
Nay, Bian begitu tulus mencintaimu. Bahkan saat kau sadarkan diri, Ia langsung
memutuskan untuk segera menikahimu. Tidak ada cinta yang begitu menyedihkan
Nay.” Ayah mengelus kepala Naysha yang telah memahami maksud pembicaraan
ayah. “Lalu dimana Bian ayah?” Naysha
menatap ayah dengan mata berkaca-kaca seakan tidak mempercayai yang baru saja
pria tua itu ucapkan.
“Saya
terima nikahnya dan kawinnya, Naysha Siregar. Binti Ahmad Siregar dengan mas
kawin cincin 200 gram. Dibayar tunai.” Sah. Pernikahan yang
ingin Bian laksanakan sejak dua tahun lalu, meskipun wanita yang Ia cintai
masih terbaring tak sadarkan diri. “Nay,
kau telah halal untukku, maafkan aku Nay yang begitu egois begitu ingin
memilikimu. Maafkan aku Nay, tapi aku begitu mencintaimu. Cinta yang dari dulu
hingga detik ini tetap sama. Kau istriku Nay, bangunlah sayang. Aku akan membawamu
ketempat yang begitu kau rindukan. Aku akan membuatmu bahagia, bersamaku Nay.
Hanya bersamaku.” Bian mencium kening Naysha, lalu mengecup bibir Naysha
lembut, air matanya tumpah membasahi pipi Naysha yang masih diam tanpa sepatah
katapun.
Pusara masih basah, wangi bunga
mawar masih harum diatasnya. Lembab dan segar. Angin semilir memaksa bertiup,
membuat suasana semakin pekat dalam duka. Tangisan tanpa suara yang tertahan.
Seakan tak percaya. Nisan nama bertuliskan “Bian
Saputra. Lahir:12 Maret 1987. Wafat:2011”
Ayah menatap Naysha penuh kesedihan,
luka berusaha memisahkan keduanya. Namun takdir memaksa untuk mereka selalu
bersama. Tanpa pertemuan dan kisah yang berakhir bahagia. “Bian mengalami kecelakaan Nay, saat Ia akan mempersiapkan tempat
terindah untukmu. Bahkan ayah tidak tahu tempat apa yang Bian maksud. Maafkan
ayah Nay. Jangan bersedih sayang.” Ayah memeluk Naysha yang menangis
tersedu-sedu mendengar kisah hidupnya, yang bahkan tidak Ia ketahui bahwa Ia
telah menjadi istri Bian hanya dalam satu hari. Meninggalkan Naysha bahkan
untuk selamanya.
“Ini
tempat yang kau maksud Bian. Tempat ketika kau meninggalkanku, bahkan belum
sempat aku melihatmu sekali saja. Mengucapkan selamat tinggal. Menitipkan
sebuah pesan. Kenapa Bian, kenapa kau masih tetap tinggal dihatiku. Bahkan saat
kau pergi, kaupun membawa hatiku. Bahkan aku tidak bisa merasakan kecupan
bibirmu. Tidak Bian, sama sekali aku tidak merasakannya. Menyaksikan tanganmu
berjabat dengan ayah untuk menikahiku. Aku hidup Bian, aku masih hidup detik
ini, berdiri dipusaramu. Aku hidup untuk ayah, dan untukmu, yang saat aku
melawati segalanya, aku berharap akan dipertemukan lagi bersamamu. Aku tetap
mencintaimu meskipun kau ada dan tidak ada sekalipun.” Suara hati Naysha
begitu lirih, air matanya tak terbendung lagi. Luapan rasa rindu, cinta, dan
kehilangan. Rasa bercampur aduk yang menyulitkan hatinya. Kehilangan yang tidak
pernah Ia inginkan. Bahkan belum sempat Ia nyatakan bahwa Bian adalah salah
satu pria yang membuatnya untuk bertahan hidup.
“Aku
ingin Bian, aku ingin sekali menjadi wanita satu-satunya yang berada dalam
hidupmu. Aku ingin Bian, tapi aku tidak ingin membagi dukaku kepadamu. Lupakan
aku Bian. Jika itu cinta, Ia tetap akan ada. Bahkan utuh tak berkurang
sedikitpun.” Naysha memejamkan mata, untuk kedua kalinya Ia meninggalkan
Bian. Pertama dibawah guyuran hujan, kedua, dipusara nisan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar