Kamis, 25 Agustus 2016

Memaksa Takdir Berpihak

            
“Aku mencintaimu Naysha, aku ingin menikahimu, menjadikanmu ibu untuk anak-anakku. Aku tahu kau pun begitu mencintaiku”. Gerimis masih saja tak mau berhenti setelah mendengar kalimat romantis dan pilu dari seorang pria yang baru saja melamar seorang gadis manis lembut perangainya. “Cinta? Apa kau tahu Bian? cinta yang baru saja kau katakan itu tentang apa. Apa kau mampu menerima semua kekuranganku? Tetap berada disisiku meskipun langit runtuh, bahkan tempat ini akan hancur lebur?” Gadis bernama Nasysha menatap lembut pria didepannya  yang hampir kebasahan terkena tetes hujan. Matanya yang penuh kasih namun tak mampu lagi berucap banyak. “Aku mencintaimu Naysha, seribu kali kau tanya arti cintaku, aku akan tetap mencintaimu, aku akan menikahimu. Kekurangan yang kau miliki, aku pun begitu, mungkin kekuranganku lebih banyak daripada yang kau miliki. Bahkan jika hari ini kau tak menjawab tentang perasaanku, aku bahkan akan tetap terus mencintaimu.” Matanya berkaca-kaca, namun tetes hujan semakin menghantam tanah dan menutupi mata tulus itu. Naysha meninggalkan Bian yang masih berdiri terpaku diguyur hujan, namun langkah Naysha tak secepat guyuran hujan, langkahnya seakan tertahan, ingin sekali ia membalikkan badan dan memaki pria dibelakangnya yang masih berdiri menatap punggungnya. Namun apalah daya gadis itu, gadis itupun menangis, menangis bersama derasnya hujan, menangis tanpa suara. Hatinya pun sakit, sakit yang tiada terkira, ingin sekali ia berteriak, namun ia tetap melangkah dan meninggalkan Bian diderasnya hujan.
            Langit senja disore hari, matahari kuning keemasan seakan menolak untuk turun dari langit, semburat cahayanya memanjakan mata siapa saja yang menatap. Bersembunyi malu dibalik gedung bertingkat, kicauan burung gereja terbang kesana kemari mencari tempat pulang, memberi kabar kesemua populasinya bahwa hari akan menjelang malam. Mata sendu yang dari tadi menatap senja, jemarinya memilin-milin kelopak mawah putih, duduk menikmati petang dalam kesendirian. Membayangkan masa depan yang masih suci, memaksakan takdir untuk tetap berpihak dan bersembunyi dibalik sejuta kecemasan. Seolah bercengkrama dengan mentari senja. Sangat menyukai suasana ini, suasana sendiri dan sepi.
            “Pergilah Nay, jika kau ingin menguji cintaku, maka pergilah sejauh mungkin kau bisa pergi, sampai aku tidak bisa menemukanmu diujung bumi sekalipun. Ujilah cintaku Nay, bahkan saat hujan ini tak akan berhentipun aku akan tetap menunggu dan mencintaimu. Aku akan menikahimu Naysha”. Sejak dua tahun lalu, kalimat itu selalu teringat dibenak Naysha, setelah pergi meninggalkan Bian pria yang sangat Ia cintai sejak empat tahun lalu pertemuan mereka dikoridor kampus, bahkan rasa cinta itu masih merayap setiap saat dikesendirian Naysha. Pria yang selalu Ia impikan menjadi sosok setia yang menemaninya disetiap keadaan sulit dan senang. Begitu banyak angan Naysha. Tapi sejak dua tahun lalu saat hujan mengguyur dan menguji cinta mereka, ketika Bian berterik pada hujan, ketika Naysha menangis sesenggukan meninggalkan pria yang Ia cintai. Semuanya berlalu begitu cepat namun tetap menyisakan kepedihan. Tak ada kabar dari Bian, tak ada cerita apa-apa lagi dari Bian, pertemuan yang terakhir ditengah derasnya Hujan.
Naysha menggenggam erat pulpen yang digenggamnya, erat sekali, tangannya memerah bergetar. Dadanya sesak, sesak sekali, ingin sekali ia melupakan, sesegera mungkin melupakan sosok yang setiap saat hadir menjadi arah mimpinya, berhenti bermimpi dan mulai melepaskan. Naysha menangis sejadi-jadinya, bagaimana mungkin dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, ia masih teringat dan merindukan sosok yang ia tinggalkan pergi tanpa pesan apapun. Mata itu begitu terluka, hati yang tetap sama, kemanapun Naysha pergi, hatinya akan tetap sama, membawa pergi cinta yang berpendan teruntuk Bian.
“Cekrek...” Pintu ruangan terbuka perlahan, sosok pria tua kisaran 50 tahun membuka pintu dari luar, membawa kantong kresek berisi makanan. Menatap pilu gadis yang duduk sendirian di atas kursi roda menatap keluar jendela. “Nay, ayah bawakan makan untukmu, kamu pasti bosan makan makanan rumah sakit setiap hari. Ayah bawakan nasi ayam bakar untukmu, ayah juga bawakan sate ayam. Kamu pasti suka, ayo Nay, makan sama ayah.” Sibuk membuka kantong yang ia bawa meletakkan makanan diatas meja. “Waaaah, terima kasih ayah, Nay memang bosan makanan rumah sakit yang itu-itu terus, akhirnya, Nay bisa makan ayam bakar dan sate.” Gadis yang dipanggil Nay itu membalikkan kursi rodanya, dan mendekati meja makan. “Nay mau ayah yang suapin, suapin Nay ya yah”. Gadis itu menatap lamat-lamat pria tua didepannya. Dengan anggukan pertanda setuju, pria itu mengangkat tangganya lalu menyuapkan nasi kemulut Nay, matanya berkaca-kaca, tangannya gemetar, dengan sigap ia seka matanya agar tak meneteskan air mata didepan puteri tersayangnya Naysha.
            Koridor rumah sakit yang begitu akrab dan tak asing bagi gadis berkursi roda itu, setiap hari ia hilir mudik dikoridor, mendorong kursi rodanya menikmati angin taman rumah sakit, bertemu dan bertatap muka dengan dokter-dokter yang hampir ia hapal semua nama-namanya. Pasien yang terus bertambah, berbagai keluhan penyakit yang dialami, kadang ada yang meninggal, lalu beberapa detik kemudian ada yang lahir, bau obat yang menusuk bulu-bulu hidung telah akrab bagi Naysha. Sejak dua tahun lalu ia menempati rumah sakit ini sebagai rumah kedua. Waktu yang ia habiskan untuk menelan semua pil kapsul rumah sakit, kemoterapi yang ia jalani menghabiskan biaya yang tak besar. Sesekali Naysha menyemangati dirinya sendiri, berusaha keras untuk kembali bangkit dan melupakan nestapa tentang penyakit mematikan yang bisa sesegera mungkin menyelesaikan takdir hidupnya. Naysha. Gadis empat tahun lalu yang duduk dibangku kuliah ilmu kesehatan, gadis manis berambut panjang hitam lurus, gadis periang penuh semangat. Duduk disemester enam, dunianya yang penuh dengan bahagia, tawa canda dan semangat, tiba-tiba sirna membuat gambar hidupnya menjadi gelap. Naysha divonis mengidap penyakit kanker otak. Kanker yang menggerogoti semangatnya dahulu, perlahan membuat tubuh manisnya yang tinggi, cahaya wajahnya yang berseri menjadi kacau pucat pasi. Tepat ketika Bian berdiri dihadapannya menyatakan cinta dan akan menikahinya. Hari dimana Naysha masih berdiri tegak dan berusaha kuat meski sakit yang ia rasakan.
            “Silahkan adek-adek yang mau ambil coklat dan balonnya, ayo kemari..”. Pria tampan yang dikawal dua orang perawat cantik berdiri ditaman rumah sakit digeromboli beberapa anak kecil berebut meminta balon dan coklat. Rumah sakit yang seharusnya digambarkan penuh dengan kesedihan dan nestapa. Namun disini, rumah sakit yang dikenal dengan penuh kasih sayang dan jutaan cerita. “Nay tunggu disini ya, ayah ambilkan resep obat Nay dulu.” Pria tua yang begitu sabar mendampingi puteri tersayangnya. Bergegas meninggalkan Naysha diruang tunggu. Mata Naysha menatap sekitar, diluar taman begitu ramai suara sorak sorai bahagia, sebahagia itukah berada dirumah sakit ini. Begitu pikir hati Naysha. “Tante kan juga sakit, ini balon buat tante, kata om ganteng, kalo sakit dikasi balon, pasti cepat sembuh, tante juga cepat sembuh ya.” Gadis kecil yang polos, berlari meninggalkan Naysha yang memegang balon berwarna merah muda, ada tulisan nama dibalonnyo, bertuliskan Putra. “Hah, dia pikir untuk sembuh cukup dengan bahagia menerima balon pemberiannya, menipu anak kecil seperti itu, sungguh membuatku jengkel.” Dengus Naysha masih memegang balon seperti berbicara kepada benda mati ditangannya. “Balon dari siapa Nay?” Ayah mendorong kursi roda Naysha perlahan meninggalkan ruang tunggu. “Tidak tahu, anak kecil memberikan pada Nay”.
            Lagi-lagi senja disore hari selalu menemani waktu sore Naysha di taman rumah sakit, menikmati senja dikesendirian. Ingin sekali ia berlari dari tempat ini, bangkit dan mengejar mimpinya yang sempat tertunda, menjadi seorang menteri kesehatan, bukan menjadi pasien seperti sekarang ini. Ingin pula rasanya ia mengutuk diri sendiri, bahkan berdiri dikaki sendiripun ia tak mampu. Namun sosok pria tua yang selalu menemaninya dengan telaten dan sabar, membuat ia kembali merenung, bahwa pria tua itu tak ingin hidup sendiri setelah kepergian wanita yang ia cintai. Hanya Naysha yang penyakitan inilah yang ia miliki. Berjuang untuk hidup demi ayah adalah impian Naysha saat ini, bukan lagi menjadi menteri kesehatan. Gerimis membasahi daun-daun taman rumah sakit, senja sesegera mungkin terbenam diufuk barat. Naysha tak ingin beranjak dari tempat ini, ia ingin bernostalgia bersama rintik hujan. Bahkan jika ia harus menangis lagi untuk kesekian kalinya.
            “Apa kau tidak tahu kalau yang jatuh ini hujan”. Pria berseragam putih berdiri dibelakang memayungi Naysha yang masih duduk menatap bunga-bunga taman yang sudah basah. “Tinggalkan aku.” Tanpa menoleh Naysha masih diam menangis dalam diam. “Kau ini keras kepala, kalau saja ada dokter lain yang melihat pasiennya hujan-hujanan begini, entahlah apa yang terjadi, kau tidak tahu ya, kalau dokter disini begitu cerewet.” Pria itu mencoba memberikan penjelasan konyol kepada Naysha yang dari tadi tidak menoleh sedikitpun kepadanya. “Pergilah”. Jawab Naysha singkat. “Baiklah, aku akan pergi, kuletakkan payungnya disini, biar kau tidak kehujanan.” Sebelum pria itu pergi, ia menuliskan sesuatu di tali payung miliknya, meletakkan payung disebelah kursi roda Naysha yang masih diam. Pria itu menulis sebuah nama. Putra.
            “Putra, nama lelaki itu Putra, aku bahkan tidak pernah mendengar nama itu dirumah sakit ini.” Naysha merapikan payung yang basah itu setelah kembali kekamar inap. Hujan diluar semakin deras, dingin pun menyelinap masuk kedalam ruangan. “Naysha sudah kembali, hujan begini jangan terlalu sering keluar ya, nanti kamu masuk angin, ayo kita cek dulu ya Nay.” Dokter separuh baya yang juga cukup sabar membantu Naysha selama dirumah sakit. Sambil mengontrol obat dan mengganti selang infus, dokter selesai memeriksa pasien setianya selama dua tahun. “Dokter, apa dokter mengenal pasien yang bernama Putra?” Naysha bertanya gugup. “Putra..” Mencoba mengingat-ingat. “Tidak ada pasien yang bernama Putra yang saya tangani, kenapa Nay?” Pria tadi sore yang memberikan payung kepada Naysha diperkirakan juga pasien rumah sakit. “Ah tidak apa-apa dok, terima kasih.” Dokter berlalu meninggalkan Naysha dengan senyuman.
            Naysha memutuskan untuk menggantung payung itu didepan kamar inapnya. Kalau-kalau pria itu lewat dan mengenali payungnya. “Ayah, Nay mau kemakam ibu hari ini, bolehkan yah?” Naysha memasang wajah polos agar mendapat izin keluar. “Boleh, ayah akan coba izin pihak rumah sakit dulu untuk jadwal keluarmu ya.” Dengan wajah bahagia Naysha bersemangat mengangguk. Untuk pertama kalinya ia keluar dari rumah sakit, meskipun ia keluar untuk ziarah kemakam ibu.
            “Terima kasih payungnya. Pesan singkat yang tergantung didepan pintu kamar inap Naysha telah ditemukan pria berseragam putih kemarin sore, hari ini ia melewati kamar inap Naysha setelah melaksanakan operasi jantung pada pasiennya. “Gadis itu dirawat disini ternyata.” Ia tersenyum setelah membaca pesan singkat Naysha, dan mengintip ruangan yang kosong. “Ah, dokter disini? Sudah selesai operasinya?” Dokter yang biasa merawat Naysha menyapa pria didepannya yang berdiri didepan kamar Naysha sambil memegang payung ditangannya. “Iya, saya baru keluar dok, oh ya, dokter yang menangani pasien kamar ini?” Sambil melirik kearah kamar yang kosong. “Iya, sudah dua tahun dia dirawat dirumah sakit ini, masih belum ada perkembangan yang lebih baik, kanker otak stadium empat yang menimpanya, masih terlalu muda.” Dokter separuh baya itu menundukkan kepalanya menghembuskan napas prihatin. “Kemana dia, kenapa ruangannya kosong?” Pria yang ternyata dokter itu bertanya lagi. “Baru saja ia keluar bersama ayahnya kemakam ibunya.” Dokter itu melirik kearah payung yang dipegang dokter tampan. “Payung itu, yang kemarin dipegang oleh Naysha kan?” Bingung lalu tersenyum. “Naysha?” Bertanya dengan nada terkejut. “Iya, nama pasien itu Naysha.”
            Malam yang dingin dicuaca penghujan seperti saat ini, dokter tampan yang dari tadi mondar mandir seakan menunggu seseorang dipintu depan rumah sakit. Pukul 20.19. Pria tampan itu meremas kepalanya dan mengutuk-ngutuk dirinya yang dari tadi menunggu dengan gelisah. Wajahnya ingin sekali marah, melampiaskan segalanya pada apapun yang ada dihadapannya, wajah ramah dan tampan itu berubah menjadi beringas, wajah penuh luka dan kepedihan, matanya memerah, ingin sekali ia berteriak memaki siapa saja. “Dokter, sedang ada pasien darurat, segera keruang operasi.” Perawat cantik yang berlari terhuyung-huyung kearahnya menjelaskan bahwa ada hal yang lebih darurat daripada perasaannya saat ini. “Sial.” Ia mendengus kesal.
            “Ayah, terima kasih, kalau saja Nay tidak kembali kerumah sakit, Nay ingin sekali tidur dirumah malam ini, Nay rindu kamar yah, ayah pasti setiap hari merapikan kamar Nay agar tidak berdebu kan.” Wajah manis itu bersandar dibahu sang ayah sambil memeluk manja. “Hahaha, bukannya Nay sendiri yang meminta ayah untuk menjaga kamar Nay, bahkan buku-buku Nay masih bersih tanpa debu sedikitpun, tenang Nay, sebentar lagi Nay akan kembali kekamar.” Wajah tua itu semakin lelah menatap lamat-lamat puterinya yang semakin pucat. “Ayah, kalau Nay pergi, Nay minta agar ayah tidak menangis, kalau ayah ingin menangis, silahkan menangis dibalik bantal, agar Nay tidak melihat ayah yang cengeng.” Naysha tersenyum, karena tiga tahun lalu Naysha mendapati ayahnya menangis dibalik bantal karena kepergian ibu. “Nay jangan bilang begitu, secepatnya kita akan segera pulang Nay.” Ayah menyeka matanya yang hampir saja jatuh mengenai pipi Naysha. Ruang kamar inap lengang. Naysha tertidur dipelukan ayah, pria tua yang masih saja kuat memberikan bahunya.
            “Nay, Naysha.” Samar-samar gadis yang dipanggil Naysha itu membuka mata perlahan, suara yang tidak asing lagi ditelinganya, suara yang selalu Naysha rindukan, suara impian Naysha dimasa depan yang akan ia dengar setiap hari. Perlahan matanya terbuka, cahaya lampu menyilaukan mata. “Kenapa Nay, kenapa harus ini alasan kamu pergi meninggalkan aku. Nay, jangan lakukan ini lagi.” Tangan lembut menggenggam tangan Naysha, tangan yang begitu lemah, jari-jari yang tidak mampu lagi bergerak, kaku dan hanya diam. Namun tangan pria yang baru saja berbicara itu tetap menggenggam tangan Naysha. Mata Naysha mencoba mengingat dan mengenali siapa pria dihadapannya yang begitu lancang menggenggam tanganya seperti itu. Namun Naysha sudah lelah, kepalanya terlalu berat untuk mengingat. “Siapkan ruang operasi, lakukan segera.”
            “Aku juga mencintaimu Bian, bahkan sebelum kau nyatakan perasaanmu hari ini, aku tidak ingin berlari dan pergi meninggalkanmu, seandainya kau tahu, bahwa aku ingin sekali memaksakan takdir untuk tetap bersamamu. Maafkan aku Bian.” Naysha menangis sejadi-jadinya diguyur derasnya hujan, tak ada seorangpun yang tahu bahwa ada dua makhluk yang saling mencintai menangis bodoh diderasnya hujan. Melepaskan dan beranjak pergi.
            Ruangan hening, hanya ada dokter tampan dan Naysha yang masih lemas belum sadarkan diri setelah operasi dilakukan. Dokter tampan itu menatap lamat-lamat gadis didepannya, matanya berkaca-kaca menahan perih yang tak terkira, tak ada seorangpun yang tahu tentang sakit yang ia rasakan selama ini, sungguh tak ada seorangpun yang mampu memahaminya. Lama sekali waktu berlalu, semua orang cemas menunggu diluar. Hanya dokter tampan yang keras kepalalah yang memaksa masuk kedalam ruangan.
            “Aku akan memaksakan takdir untuk berpihak kepada kita Nay, aku tidak ingin kehilanganmu lagi.” Pria tampan itu meninggalkan ruangan dengan wajah penuh pedih penderitaan. Memaksa takdir untuk berpihak kepadanya, memaksakan cerita yang ingin ia buat sendiri endingnya. Namun apalah arti pertemuan, jika perpisahan pun tetap ada.

            “Bukan hanya kau nak, pria tua inipun begitu sakit melihat anak perempuannya begitu lemah terbaring didalam sana. Dua tahun aku menemani Nay dirumah sakit ini. Hanya dia yang kumiliki.” Pria tua itu menundukkan kepalanya dan menangis, setelah menatap prihatin pria tampan didepannya. “Nay pasti sembuh, bahkan aku akan melakukan apapun untuk kesembuhan dan kebahagiaan Nay.” Pria tua itu mengangkat kepalanya dan memeluk erat pria tampan yang dari tadi berharap sama besarnya.
            Lebih dari 24 jam, Naysha masih terbaring tanpa membuka mata, kondisinya semakin lemah, harap cemas dan khawatir diluar sana menunggu. “Ayolah Nay, haruskah aku menunggumu lebih lama lagi setelah sekian lama pertemuan kita.” Desah hati pria tampan berseragam putih. “Siapa namamu nak? Kenapa kau begitu mengkhawatirkan Nay?” Ayah bertanya menatap mata pria berseragam putih yang dari tadi tidak bisa tenang. Ia menatap ayah dengan mata berkaca-kaca dan memeluk ayah tersedu dibahunya. Menumpahkan segala rasa yang selama ini ia pendam sejak Naysha terbaring dan belum ssadarkan diri. “Aku Bian, Bian Saputra, lelaki yang mencintai anakmu dan dua tahun lalu yang ingin menikahinya.” Pelukan seorang anak kepada sang ayah yang sedang bersedih, Bian tersedu masih memeluk ayah erat.
            “Kamu ingat tidak Nay, saat dikampus hijau itu, saat kau duduk dibangku taman menghabiskan dua mangkuk mie ayam, saat itu kau sangat kelaparan, kau bilang semalaman kau mengerjakan makalah dari dosen kiler itu, dan kau lembur sampai larut malam, kesiangan lalu tidak sarapan sampai siang hari. Perut karetmu mampu menampung mie sebanyak itu. Tawamu saat itu membuatku semakin menyukaimu. Dan saat diperpustakaan, kau menulis namaku dilembar notebookmu. Aku mengetahui itu Nay, aku tahu betul soal itu. Nay, saat kau bangun dari mimpi indahmu, aku akan membawamu ke danau kampus, aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu, dan Nay...” Suara Bian tercekat tidak mampu melanjutkan kalimatnya, pipinya telah basah, matanya tertutup perlahan dan menunduk disamping ranjang Naysha.           Bian tidak tahan dengan keadaan ini, wanita yang begitu lama ia cintai, tiba-tiba menghilang dari kehidupannya, dan kembali dipertemukan dalam keadaan yang begitu sulit untuk ia terima. Kaca jendela diluar mulai basah, hujan membasahi tanah, namun, air mata Bian telah lebih dulu membasahi hatinya. Hati yang begitu perih.
            “Ayah..” suara Naysha lirih pelan sekali terdengar. Lalu Naysha tersenyum tipis melihat pria tua didepannya. Bahwa ia masih bisa dengan sangat jelas menatap pria tua itu saat semua yang telah ia lalui. “Ayah disini Nay, ayah sangat bahagia kau sudah sadar, istirahatlah nak, jangan banyak bergerak.” Senyuman tulus terlihat jelas dari ayah yang mengelus rambut putrinya. “Hiduplah untukku nak.” Mencium kening Naysha. “Bersabarlah untukku ayah.” Naysha menggenggam tangan ayah lembut, sentuhan penuh kasih sayang. Setelah semua yang Naysha lalui, perjalanannya selama dua tahun berada dirumah sakit, kemo yang ia jalani, pil-kapsul yang selalu ia telan, jarum suntik yang tak habis-habisnya masuk menusuk kulit lembutnya. Semua begitu sulit bagi orang lain yang menjalani, namun bagi Naysha, kisah itu tidak begitu sulit, Naysha bertahan karena pria tua yang berada dihadapannya. Naysha membuka mata dan mampu tersenyum karena kekuatan cinta yang selalu mensugestikannya untuk tetap hidup dan bertahan. Bertahan dan melanjutkan kisah ini hingga akhir.
            Langit begitu cerah, biru bersih tanpa noda, lukisan yang maha indah. Naysha tak merasa jenuh memandang langit, Wajahnya tetap teduh dan manis, mendorong kursi roda ketaman rumah sakit, taman yang selalu ia kunjungi, yang membuatnya teringat akan sosok Rey, pria yang begitu ia cintai. Dua minggu setelah operasi. Naysha masih suka duduk ditaman rumah sakit, sendirian. “Emm?” Matanya bingung saat mendekati kursi taman, payung yang pernah ia lihat sebelumnya, yang bertuliskan nama Putra. Terpasang dibangku taman. Naysha menatap sekitar, tidak ada siapapun yang berada ditempat itu. Hanya Ia sendiri. “Payung ini.” Naysha tetap bingung dalam kesendiriannya. “Itu milik Putra nak, laki-laki itu Putra, ayah mengenalnya. Kau juga mengenalnya.” Ayah tiba-tiba muncul seperti jin yang mengagetkan Naysha. “Maksud ayah? Ayah tahu darimana?” Naysha mengerutkan keningnya semakin bingung. “Saat kau dioperasi, dia datang, datang sebagai sosok Putra, Bian Saputra. Laki-laki yang ingin menikahimu. Bahkan Ia sempat menangis dipelukan ayah. Menangisi keadaanmu, Ia sangat mencintaimu Nay.” Mata ayah berkaca-kaca menatap Naysha yang masih bingung. “Bian Saputra?” Mencoba memahami dari sebuah nama. “Iya Nay, Bian Saputra, Bian yang ingin menikahimu, yang sempat bertemu denganmu ditempat ini. Memayungimu dan memberikan balon kesembuhan itu.” Ayah kembali menjelaskan. “Dia dokter dirumah sakit ini, Ia mengenalkan namanya sebagai Putra. Pria kedua yang mencintaimu setelah ayah Nay, Bian begitu tulus mencintaimu. Bahkan saat kau sadarkan diri, Ia langsung memutuskan untuk segera menikahimu. Tidak ada cinta yang begitu menyedihkan Nay.” Ayah mengelus kepala Naysha yang telah memahami maksud pembicaraan ayah. “Lalu dimana Bian ayah?” Naysha menatap ayah dengan mata berkaca-kaca seakan tidak mempercayai yang baru saja pria tua itu ucapkan.
            “Saya terima nikahnya dan kawinnya, Naysha Siregar. Binti Ahmad Siregar dengan mas kawin cincin 200 gram. Dibayar tunai.” Sah. Pernikahan yang ingin Bian laksanakan sejak dua tahun lalu, meskipun wanita yang Ia cintai masih terbaring tak sadarkan diri. “Nay, kau telah halal untukku, maafkan aku Nay yang begitu egois begitu ingin memilikimu. Maafkan aku Nay, tapi aku begitu mencintaimu. Cinta yang dari dulu hingga detik ini tetap sama. Kau istriku Nay, bangunlah sayang. Aku akan membawamu ketempat yang begitu kau rindukan. Aku akan membuatmu bahagia, bersamaku Nay. Hanya bersamaku.” Bian mencium kening Naysha, lalu mengecup bibir Naysha lembut, air matanya tumpah membasahi pipi Naysha yang masih diam tanpa sepatah katapun.
            Pusara masih basah, wangi bunga mawar masih harum diatasnya. Lembab dan segar. Angin semilir memaksa bertiup, membuat suasana semakin pekat dalam duka. Tangisan tanpa suara yang tertahan. Seakan tak percaya. Nisan nama bertuliskan “Bian Saputra. Lahir:12 Maret 1987. Wafat:2011”
            Ayah menatap Naysha penuh kesedihan, luka berusaha memisahkan keduanya. Namun takdir memaksa untuk mereka selalu bersama. Tanpa pertemuan dan kisah yang berakhir bahagia. “Bian mengalami kecelakaan Nay, saat Ia akan mempersiapkan tempat terindah untukmu. Bahkan ayah tidak tahu tempat apa yang Bian maksud. Maafkan ayah Nay. Jangan bersedih sayang.” Ayah memeluk Naysha yang menangis tersedu-sedu mendengar kisah hidupnya, yang bahkan tidak Ia ketahui bahwa Ia telah menjadi istri Bian hanya dalam satu hari. Meninggalkan Naysha bahkan untuk selamanya.
            “Ini tempat yang kau maksud Bian. Tempat ketika kau meninggalkanku, bahkan belum sempat aku melihatmu sekali saja. Mengucapkan selamat tinggal. Menitipkan sebuah pesan. Kenapa Bian, kenapa kau masih tetap tinggal dihatiku. Bahkan saat kau pergi, kaupun membawa hatiku. Bahkan aku tidak bisa merasakan kecupan bibirmu. Tidak Bian, sama sekali aku tidak merasakannya. Menyaksikan tanganmu berjabat dengan ayah untuk menikahiku. Aku hidup Bian, aku masih hidup detik ini, berdiri dipusaramu. Aku hidup untuk ayah, dan untukmu, yang saat aku melawati segalanya, aku berharap akan dipertemukan lagi bersamamu. Aku tetap mencintaimu meskipun kau ada dan tidak ada sekalipun.” Suara hati Naysha begitu lirih, air matanya tak terbendung lagi. Luapan rasa rindu, cinta, dan kehilangan. Rasa bercampur aduk yang menyulitkan hatinya. Kehilangan yang tidak pernah Ia inginkan. Bahkan belum sempat Ia nyatakan bahwa Bian adalah salah satu pria yang membuatnya untuk bertahan hidup.
            “Aku ingin Bian, aku ingin sekali menjadi wanita satu-satunya yang berada dalam hidupmu. Aku ingin Bian, tapi aku tidak ingin membagi dukaku kepadamu. Lupakan aku Bian. Jika itu cinta, Ia tetap akan ada. Bahkan utuh tak berkurang sedikitpun.” Naysha memejamkan mata, untuk kedua kalinya Ia meninggalkan Bian. Pertama dibawah guyuran hujan, kedua, dipusara nisan.

                       

            

Sabtu, 20 Agustus 2016

Kamu Cerita Fiksi

Mungkin kemarin aku pernah mengatakan tentang 
“Aku menyukaimu” atau pernah mengatakan
“Aku rindu kamu”
Atau mungkin aku pura-pura tidak tahu
tentang kalimat singkat yang aku katakan
Berpikir kalimat itu tidak lebih dan tidak bukan hanya lelucon
tapi mungkin lelucon bagimu
bahwa perasaan yang ada hanya sebatas cerita
Mungkin kemarin aku pernah mengatakan
“Bolehkah aku berharap” atau pernah mengatakan
“aku akan menunggumu”
Atau mungkin aku pura-pura tidak tahu
tentang kalimat singkat yang aku katakan
Bahwa benar ini tentang perasaan yang lama
Lama, begitu lama dan membusuk didalam hati
Hingga baunya berpendan dalam bulu-bulu hidung
Tentang kalimat singkat itu
Tak ada jawabanmu
Tak ada kalimat balasan tentang sebuah perasaan
Tetap berdiam dan acuh
Kamu tak sadari, bahwa ini nyata
Dan kamu membuatku berlari gila
Melupakan kalimat singkat dan menangis sendirian
Kamu hanya sebuah cerita lama
cerita lama yang begitu singkat


Sesegera mungkin mengasah luka lebih tajam


Melepaskan Sebelum Kumiliki

Sejauh mungkin aku akan pergi tinggalkan dirimu
dan semuanya tentang dirimu
sejauh mungkin untuk melupakan
Suatu saat nanti aku telah jauh
kuharapkan kamu mengerti
kuharap kamu akhirnya menyadari
bahwa aku pernah berada dekat disampingmu
namun tak terlihat olehmu
Aku pergi, sejauh mungkin untuk melupakan
Bahwa aku dulu pernah menyayangimu, pernah mencintaimu
Namun bila memang aku tak pernah nampak dimatamu
apalagi berada tepat dihatimu
lelah hatiku, mempertahankan yang seharusnya sejak dulu aku lepaskan
Aku pergi dan melepaskan
kamu yang bahkan belum sempat kumiliki

Kamis, 18 Agustus 2016

Aroma Bunga Kopi di Lembang

Jalanan tak pernah sepi pengendara, debu dan polusi juga membuat dada semakin sesak, jadwal tak habis-habisnya memburu waktu, mengejar hari dan target. Macet disepanjang jalan membuat pengendara menghardik sesamanya, klakson dibunyikan berulang-ulang, bersahut-sahutan dengan klakson lain, teriakan pria bertubuh besar, berkumis lebat, berkemeja lusuh yang mengeluarkan kepalanya dari dalam mobil berteriak kesal menghardik mobil didepannya yang tidak bergerak sedikitpun, hanya jarak 30 senti saja dengan mobilnya. Penjual asongan yang hilir mudik kesana kemari menjajakan dagangannya, membuat jalanan semakin ramai dengan teriakannya, matahari seakan tertawa geli melihat kota ini penuh sesak dengan amarah dan kejengkelan. Pukul 17.10, namun matahari ingin segera lenyap dari kota yang sesak ini, meninggalkannya dengan segera dan berganti dengan rembulan, sinarnya perlahan tertutup dibalik gedung etalase megah bertingkat 30 lantai, ia seperti hendak berkata “selamat menikmati malammu ditempat sesak ini”.
Pria bertubuh tinggi, hidung yang boros maju kedepan, bermata sipit, bibir yang ranum, wajah tirus dan bersih, seperti sedang menggambarkan aktor tampan ditelevisi, perfect sudah pria ini. Melongokkan kepalanya kebawah apartement dari lantai 9 kamarnya, melihat jalanan kota yang penuh sesak ramai oleh pengendara. Mendengus kesal selepas menatap jalanan ramai. Pukul 18.10. Pria tampan bak aktor profesional itu merebahkan tubuhnya diatas springbad empuk yang bersih, matanya menatap sekeliling ruangan, ruangan yang mewah dan luas untuk ditinggali satu orang. Sofa berwarna coklat berpadu putih yang disusun apik ditengah kamar, TV 3 dimensi terpasang didinding kamar menghadap tempat tidur, lemari kaca model terbaru yang setiap hari menatap pria tampan yang sedang kesal. Parfum mahal dan barang-barang bermerk terjejer rapi diatas meja kaca. Kemewahan yang diidam-idamkan setiap orang, apalagi penjual asongan diluar jalanan itu yang masih berteriak-teriak menawarkan air botol kemasan dengan semangatnya tanpa kesal meskipun sesak berdebu.
Langit-langit kamar terus ia terawangi, sesekali ia mengerutkan dahi, lalu memejamkan mata, ia tatap lagi, mengerutka dahi lagi, pejamkan mata lagi, dan terus seperti itu, seakan ia sedang memikirkan sesuatu. Napasnya ia keluarkan dengan paksa, memberi tahu bahwa ia sedang kesal. “Kring.. kring.. kring..”. Tersentak ia bangun menyambut telepon yang berbunyi disebarang tempat tidur dan seketika raut wajahnya berubah bahagia, wajah tampan itu semakin nampak dengan senyum terbaik. Kembali ia meletakkan ganggang telepon dan segera bangkit dari tempat tidur menuju lemari pakaian.
“Rey, apakah kau didalam?” Suara pria muda terdengar dari balik pintu kamar pria yang dipanggil Rey. Pria yang dipanggil Rey itu berjalan menuju pintu dan membukanya. “Sudah dengar kabar gembira kawan? Kita akan pergi malam ini juga, kantor baru saja meneleponku dan yang lain, apa kau sudah tahu?” Pria muda itu masih berdiri diluar dengan wajah bahagia, sama bahagianya dengan Pria yang dipangggil Rey. “Hahaha, seharian ini aku sangat kesal, tapi karena mendapat kabar yang aku harapkan sejak tadi, moodku kembali baik, sekarang aku sedang menyiapkan beberapa pakaian untuk berlibur, semangatku kembali pulih setelah berdebat dengan direktur dikantor. Aku ingin segera pergi dari kota penuh sesak ini.” Wajah yang tampan itu semakin bersemangat dan nampak bahagia, sepertinya ia lelah dengan rutinitas kantor dan target tanpa mengerti waktu, itulah sebabnya, wajah tampan itu sempat pudar dan lelah. “Kenapa kau datang kemari? Apa kau tidak ikut? Aku baru saja ingin berkemas, lalu kau datang dengan wajah seperti itu”. Rey masih berdiri didepan pintu tanpa mempersiapkan tamunya masuk. “Hahaha, sepertinya kau sangat bersemangat untuk pergi kali ini”. Pria muda itu terkekeh dan berjalan masuk kedalam ruangan, sambil menarik koper berukuran besar lalu duduk santai diatas sofa. “Aku sudah bersiap sejak satu jam lalu, dan aku kemari menunggu mobil jemputan kantor. Sudah berkemaslah, nanti kau kembali kesal karena tertinggal, hahaha”. Ia kembali tertawa sambil mengejek Rey.
Pukul 21.10. Mobil melaju dengan kecepatan 80 km/jam, jalanan tetap ramai, tapi tidak seramai tadi sore, dan tidak pula membuat Rey kembali kesal seperti sore tadi. Rey menikmati perjalanannya menuju kota dingin dan penuh wisata alam, Bandung, kota dingin dan ramah, tempat yang pas untuk Rey dan kawan-kawan beristirahat setalah dikejar waktu dan target di Ibu Kota yang sesak dan buas. “Eh, Dewi juga ikut loh, tapi sayangnya dia tidak semobil dengan kita, dia bawa mobil sendiri.” Pria muda itu melirik genit kearah Rey dengan wajah datar Rey hanya diam. “Berapa mobil yang ikut?” Tanpa menanggapi tentang Dewi, Rey bertanya santai. “Cuma dua, tiga termasuk mobilnya Dewi, kau tahu tidak? Dewi lah yang berhasil membujuk direktur untuk cuti panjang ini, setelah berdebat panjang tentang laba dan rugi jika kita ambil cuti, akhirnya ia mengalah dan memberi izin, hahaha.” Entah apa yang lucu menurutnya, Pria muda itu tertawa sendiri. “Alex, apa Dewi sendirian dimobilnya?”. Pria muda itu bernama Alex, rekan kantor Rey yang bisa dikatakan tingkat perdulinya tinggi terhadap Rey, meskipun ia tahu, Pria tampan yang bernama Rey itu sungguh dingin sikapnya, datar dan susah ditebak, namun Alex tetap nyaman saat bersenda gurau bersama Rey. “Nggaklah, dia sama Tina berdua, ternyata kau juga perduli ya sama Dewi, pura-pura acuh aja nih, hahahaha”. Tertawa menggoda Rey dengan menyikut lengan Rey yang hanya diam tanpa jawaban.
Jalanan menuju Lembang lengang, hanya ada beberapa kendaraan beroda empat yang berlalu lalang, cuaca dingin mulai terasa di kota Bandung, pukul 00.24. Lampu jalan menerangi setiap perjalanan menuju villa Lembang, semakin tinggi tanjakan, ac mobil semakin terasa dingin, Rey terbangun dari tidur, menoleh disebelah kanan Alex yang juga tertidur lelap kelelahan. “Tiiiiiiiiiiiiiiit, gedebaaaak”. Bunyi klakson panjang dari arah yang berlawanan, cahaya lampu mobil menyilaukan mata, mobil yang dinaiki Rey terhuyung kesemak belukar menabrak pohon besar didepannya, sontak Rey terkejut, ada apa, apa yang baru saja terjadi. Gelap, dan Rey kembali tidur.
Rey menatap keluar kaca jendela mobil, pepohonan rindang yang gelap dimalam hari dikota Lembang menuju villa membuat suasananya sedikit horor, namun Rey berpikir seram hanya dimalam hari, Bandung tidak seseram malam ini. Pukul 01.12. Mobil berhenti tepat didepan villa, villa yang memiliki dua lantai, disambut dengan lampu taman villa dan bunga-bunga cantik, dingin malam di Lembang menyambut mereka dengan tenang, dibagasi villa telah terparkir dua mobil, pertanda bahwa teman-teman yang lain dan Dewi telah sampai lebih dulu.
Kicauan burung serta aroma embun pagi, mawar merah merekah ditaman villa menyambut pagi di Lembang, sambutan berbeda dengan dipagi hari di Ibu Kota. 180 derajat berbalik. Tawa bahagia dari luar membangunkan Rey yang masih sedikit mengantuk, suara seorang wanita dengan tawa manja, memberi tahu bahwa gadis itu manis dan cantik, suaranya terdengar dari dalam kamar Rey dan Alex yang berada dilantai dua masih tertidur karena lelah tadi malam selama perjalanan, mata Rey yang sipit perlahan terbuka dan berjalan perlahan menuju jendela, hidungnya yang boros menarik napas panjang menikmati sejuknya pagi hari di Lembang, matanya mencari-cari suara tawa yang baru saja ia dengar, suara tawa yang lembut. Dari balik jendela kamar, Rey mendapati seorang gadis berlari kecil mengendap-endap keatas bukit, mengenakan gaun sampai lutut berwarna merah muda, berambut panjang lurus berbando yang sama dengan gaunnya, sekali ia menoleh kearah villa, wajahnya samar-samar terlihat dan perlahan naik kebukit, bukit yang sisi kiri ditanami teh hijau, dan sisi kanan yang ditanami kopi yang hampir matang. Rey terus menatap gadis itu memastikan gadis itu akan pergi kemana, lalu hilang dibalik kebun kopi yang lebat.
Siang hari di Lembang, berbeda jauh dengan siang hari di Ibu Kota, Lembang tetap memberikan panorama yang sejuk dan bersahabat, siapapun akan menjadi bersemangat saat berada ditempat ini, itulah pikir hati Rey yang berjalan sendirian meninggalkan Alex yang masih tidur karena lelah. Jalan batu kerikil, sisi kiri dan kanan disuguhkan pemandangan hijau pepohonan. Rey memutuskan untuk makan siang dilesehan seberang villa.
Duduk sendirian setelah memesan makan siang, Rey memesan nila bakar dan sayuran segar yang dipetik langsung dari perkebunan Lembang, duduk sendirian menatap luar pagar sebagai penghalang, seperti memberi tahu orang-orang bahwa pria tampan ini, pria single. Diseberang lesehan, hanya beberapa meter dari lesehan, pemandangan kebun teh dan kebun kopi yang berdampingan, seketika mengingatkan Rey pada sosok gadis yang ia lihat pagi tadi. Matanya liar melihat sekeliling, mencari sosok gadis pagi tadi, barangkali ia akan menemukannya ditempat ini. Kebun kopi yang lebat, daunnya hijau kehitaman, buahnya kuning kemerahan, namun belum siap untuk dipetik, aroma bunga kopi yang wangi mampu menenangkan pikiran Rey yang sesekali mengingat tentang sosok gadis yang ia lihat. Hidangan belum juga datang, padahal sudah satu jam lamanya Rey menunggu, setalah memberikan menu yang ia pilih dimeja kasir, kesal menunggu terlalu lama, Rey beranjak pergi dari tempat tanpa menoleh kepada siapa saja yang mungkin melihatnya.
Matahari terik diatas kota Lembang, Rey masih menikmati liburannya dengan berjalan sendirian menyusuri kebun teh dan kebun kopi yang berseberangan. “Gedebug.” Suara orang terjatuh didepan Rey berdiri, namun Rey tidak melihat karena terhalang rimbun daun kopi, perlahan Rey memastikan siapa dan apa yang baru saja ia dengar. Ia kembali melihat gadis yang ia lihat pagi tadi, posisinya telah berubah berdiri dan hendak pergi, memastikan bahwa gadis itu benar yang ia lihat pagi tadi. “Hey...”. Namun gadis itu berlalu dan tetap pergi tidak mendengar teriakan Rey. Rey mencoba mengejar gadis itu dan mengikutinya lalu hilang dibalik suburnya kebun kopi. Rey mendungus kesal, baru saja ia hendak memastikan siapa gadis itu dan ingin melihat lebih jelas wajah gadis bersuara manja itu. Rey memutuskan untuk kembali ke villa sore hari dan menghabiskan waktu untuk tidur berjam-jam, dan besok ia akan mencari gadis itu lagi, gadis itu telah mambuat Rey penasaran dan ingin bertemu kembali.
Pagi hari Rey sudah stanby didepan jendela kamar menunggu gadis itu, mungkin saja gadis itu kembali datang didepan villa dan tertawa riang seperti hari sebelumnya, Rey menunggu dengan penuh harap. Benar saja, gadis itu muncul mengejar kelinci putih yang melompat-lompat takut karena dikejar, dengan mengenakan gaun yang sama seperti hari kemarin, gadis itu tertawa geli mengejar kelinci yang sulit untuk ia tangkap, menyaksikan itu, Rey melompat berlari ketangga bawah, takut ia akan kehilangan momen untuk bertemu gadis itu lagi, berlari Rey menuju luar villa, benar saja, gadis itu berlalu lagi dengan berlari-lari kecil meninggalkan tawa manja dari villa. Tidak ingin kehilangan jejak kedua kalinya, Rey berlari mengejar gadis itu yang hilang dibalik rimbunnya kebun kopi, meninggalkan suara tawa manja. Rey tersengal tetap mencari-cari kemana menghilangnya gadis itu, matanya manatap liar sekitar kebun kopi yang tingginya melebihi tubuhnya yang tinggi 186 senti itu, ia tersandung tepat berada diatas batu besar kebun kopi, Rey kelelahan, matanya menatap sekitar, hanya batang kopi yang menjulang menutupi penglihatannya.
Aroma bunga kopi yang khas dipagi hari, membuat pikiran Rey sedikit tenang setalah tersengal mengejar gadis itu yang entah menghilang kemana. Rey tersungkur lemas diatas batu besar tempat ia berpijak didalam kebun kopi, perkebunan masih sepi, belum ada yang beraktivitas sepagi ini.  Napas Rey tak beraturan, ia mendengus berkali-kali karena kesal tidak menemukan gadis itu. Beberapa menit ia duduk diatas batu, lalu memutuskan untuk pergi kelesehan untuk sarapan pagi.
Kembali duduk sendirian ditempat yang sama ia duduki kemarin, menunggu menu yang telah ia tulis dan letakkan dimeja kasir, apakah ia akan menunggu lama seperti hari kemarin. Rey tetap menunggu sambil berpikir, siapa gadis itu, kenapa gadis itu membuat Rey begitu penasaran. “Hahaha, sini, sini”. Tawa yang sama seperti dua hari terakhir yang ia dengar, suara itu berasal dari bawah lesehan, karena lesehan ini tinggi seperti rumah panggung. Rey melongokkan kepalanya kebawah, ia kembali melihat gadis itu, tetap suka ria mengejar kelinci yang sama, tanpa pikir panjang, Rey melompat dari atas yang tingginya dua meter, karena ia tidak ingin kehilangan gadis itu lagi dan lagi.
“Hey...”. Suara Rey tersengal menopang kakinya yang sedikit nyeri terhempas tanah, gadis itu perlahan mundur takut melihat Rey yang sedikit berantakan namun tetap terlihat tampan. “Jangan takut, aku tidak akan mengganggumu”. Mencoba berdiri tegak, dan memastikan jika gadis itu hendak berlari mejauh darinya. Gadis itu tetap diam menatap Rey kaku.  “Aku Rey”. Menyodorkan tangannya hendak ingin berkenalan namun tak disambut tangan gadis itu. Rey menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sambil menatap malu gadis didepannya, apa yang telah ia lakukan hari ini sangat gila, gadis didepannya yang mengenakan gaun merah muda, berbando yang berwarna sama dengan gaunnya, lesung pipinya yang terlihat jelas meskipun ia tidak tersenyum, kulit putih bersih, sangat manis dan cantik, tidak sia-sia Rey mengejarnya beberapa hari ini.
Namun mata Rey tertuju pada bagian bawah kakinya, ia hanya mengenakan satu sandal sebelah kiri, dan kaki kanannya merah terluka, mungkin karena ia tidak mengenakan alas kaki sebelah kanan. Gadis itu tersontak berlari. Kembali mengejar kelinci yang dari tadi menghilang, lalu meninggalkan Rey yang terdiam. “Hey, siapa namamu? Hey, jangan pergi”. Rey berteriak, ia ingin sekali mengejarnya, namun kakinya masih gemetar karena melompat dari ketinggian. Namun itu sudah cukup bagi Rey, bertemu dengan gadis itu lebih dekat membuat liburan Rey sangat berkesan.
Rey melupakan bahwa ia berlibur bersama teman-teman kantor, ada Alex, Dewi, Tina, dan teman-teman yang lain, namun Rey merasa, bertemu gadis itu lagi lebih penting daripada menikmati liburan bersama teman kantor yang di Ibu Kota juga akan tetap bertemu dengan mereka. Rey kembali ingin menemui gadis itu, Rey membawa sandalnya yang tidak ia pakai, ia ingin memberikan sandal kepada gadis itu, Rey menunggu diatas batu besar dikebun kopi, bunga kopi yang setiap pagi menenangkan pikirannya, semakin membuatnya bersemangat untuk bertemu gadis itu lagi. Dari atas bukit, gadis itu turun masih menggunakan gaun yang sama, apa gadis ini tidak memiliki pakaian ganti, sampai-sampai ia tidak berganti pakaian, ah, ia tetap terlihat cantik meskipun memakai gaun yang sama. Pikir hati Rey.
“Eh, aku sudah menunggumu sejak tadi”. Pukul 06.00. Sepagi ini Rey telah mendaki kebun kopi karena tidak ingin melewatkan momen pertemuan untuk kesekian kalinya. Gadis itu diam saja menatap Rey, lalu tersenyum, senyuman yang sangat manis yang tidak pernah ia lihat dari gadis manapun. Termasuk senyuman Dewi yang kalah manis, rekan kantor yang pernah ia sukai sejak dua tahun lalu. Rasa suka itu pudar setelah Rey mengetahui Dewi menyukai ketua direktur utama perusahaan. Kembali Rey menatap gadis manis didepannya, yang masih mengenakan satu sandal, tak tega melihat kaki mulus itu terluka, Rey memberikan sandal yang telah ia bawa. “Ini, pakailah, aku bawakan sandal untukmu, nanti kakimu terluka lebih banyak lagi”. Gadis itu menatap Rey penuh simpati, seakan ia tidak pernah bertemu dengan pria sebelumnya. Pria yang baru saja ia kenal hendak memberikannya sandal. Gadis itu menggeleng perlahan dan duduk disebelah Rey. “Kenapa tidak dipakai? Kamu tidak mau?”. Gadis itu hanya diam saja menatap kakinya yang penuh dengan luka.
Aroma bunga kopi di Lembang selalu membuat tenang, buahnya yang kuning kemerahan memberi pertanda bahwa sebentar lagi ia akan siap dipetik. Satu jam berlalu sejak pagi hari Rey menunggu dikebun kopi bersama gadis yang masih belum ia ketahui namanya. Mereka hanya berdiam diri duduk diatas batu besar bersebelahan, Rey tidak mampu mengeluarkan beberapa kalimat, karena ia merasa gadis ini tidak akan menjawabnya.
“Kenapa kesini?”. Tersontak Rey mendengar kalimat itu dari si gadis, suaranya yang lembut membuat Rey salah tingkah. “Eh, a.. ak.. aku hanya ingin menemuimu”. Tiba-tiba pria tampan bak aktor itu gagap gempita menjawab pertanyaan. “Pagi-pagi begini? Kamu tidak takut” Pertanyaan lagi yang gadis itu ajukan. “Kenapa harus takut, aku sudah mencarimu beberapa hari ini, dan aku tidak ingin mencarimu seperti anjing liar seperti kemarin”. Rey malu-malu mengungkapkan. “Hahahaha”. Tawa manja yang sama persis yang Rey dengar dua hari lalu di villa, tawa yang selalu membuatnya penasaran, dan kini Rey menyaksikan langung gadis manis dengan lesung pipi yang jelas terlihat. Inikah cinta? Hati Rey berbisik.
“Pulanglah, banyak orang mencarimu, nikmati liburanmu, jangan lakukan ini lagi”. Gadis itu tersenyum lagi, senyum yang sangat manis. “Aku sudah besar, tidak perlu dicari. Siapa namamu?” Lengang sejenak, aroma bunga kopi selalu berhasil mengalihkan segalanya, matahari perlahan naik, namun dingin Lembang tetap terasa. “Lia”.
Gadis itu berdiri dan tersenyum kearah Rey, memetik bunga kopi yang sedang mekar, ia hirup dalam-dalam wanginya sambil memejamkan mata, hendak mengatakan sesuatu namun terhenti. “Rey.. Rey.. Rey.. Rey..” Suara ramai dari balik bukit terdengar samar-samar.
Pukul 09.30. Lembang tetap terasa sejuk, Rey tidak mencium aroma bunga kopi lagi, Rey sudah berada jauh dari villa. Matanya terang, tidak lagi tertutup daun-daun kopi yang lebat. Secangkir kopi hangat tepat berada disamping ranjang Rey berbaring. Dimana Lia, gadis manis yang baru saja ia temui, sandal yang baru saja ia bawa, kebun kopi yang lebat, aroma bunga kopi yang selalu membuatnya tenang, begitu banyak pertanyaan Rey, namun kepala Rey terasa berat, segelas kopi hangat disampingnya memberikan aroma khas kopi nikmat, ingin sekali ia meminum kopi hangat itu, tapi tubuhnya sulit untuk bergerak, semua terasa sakit. Ruangan asing pula yang ia tempati membuat Rey bingung. Dingin Lembang masih terasa, meskipun ia sudah jauh dari perkebunan kopi dan teh hijau. Pria muda mendorong pelan pintu ruangan dan terkekeh geli melihat Rey yang masih kebingungan.
“Untung kau masih hidup kawan”.  Tiga hari yang lalu, saat menuju villa, mobil yang dinaiki Rey mengalami kecelakaan.