Senin, 11 November 2013

Pangeran Berkuda Penakluk Kilat

Sang pemburu cinta, yang pernah lelah dengan impiannya
Dapatkah kau rasakan tentang rasa yang meluka
Ini tentang rasa yang seharusnya kau tahu itu
Memandang redup wajahmu dibalik embun merintik
Berharap kau akan tahu betapa besar bara itu
Tentang sebuh lagu disenja sana
tentang sebuah desiran angin yang pernah sampaikan kerinduan itu
Betapa ingin ku sampaikan, langit itu cemburu padamu
langit itu pun merindukanmu, bukan hanya aku
Ingin ku sampaikan kepada merpati cinta
Bahwa mendung telah berganti guruh
Aku takut pada suara guruh itu, tenangkan aku dengan raut wajahmu yang dalam
guruh itu bukan hanya membuat aku takut, tapi guruh itu melenyapkan pandanganku tentang raut wajahmu, aku hampir lupa bagaimana bentuk senyummu, selah alismu yang menyatu tebal itu, lesung pipi itu pudar
Aku tak ingin lupa tentang itu, hanya wajahmu yang membuat aku merasa aman
Guruh masih saja bersahutan, aku semakin takut
aku semakin risau
Belum lenyap suara guruh itu, kilat menyambar-nyambar
ku merangkuh apa yang dapat ku rangkuh
Aku takut
aku dingin
aku sendiri
aku menangis
aku rapuh
Kepadamu yang ada dalam pikiranku
kepadamu yang ada dalam khayalanku
kepadamu pangeran berkuda yang lenyapkan gelap
Rengkuhan senja semakin tinggi, langit tak lagi cerah
Adakah secercah harapan dalam impian
mengkhayalkanmu dalam angan yang indah
entah nyata atau tidak
ku merindukanmu
Di ujung pagi, kemenanti siang, diujung siang, kumenanti petang, diujung petang kumenanti malam, namun tanpa guruh dan kilat
Tetap dalam khayalanku
Pangeran berkuda penakluk kilat


Karya: Vinna Wa’afieny AS

Sayang

Sayang, ku tak dapat lelap malam ini
Sayang, mungkin malam ini kau telah berada dalam alam mimpi
Sayang, tak kau dengarkah, suara serak ini memanggil namamu
Sayang, maaf jika aku tak bisa diam dalam gelap malam
Sayang, aku membangunkanmu dalam tidur
Sayang, aku tak bermaksud membuatmu terjaga
Sayang, aku hanya mencoba merindukanmu dalam diam
          Tanpa maksud mengganggumu
          tanpa maksud membuka matamu
          mungkin suara hati kecilku terlalu nyaring memanggilmu
          mungkin hatiku terlalu berisik menyebut namamu
          tidurlah kembali sayang, ku ingin engkau tidur
          Aku janji, aku tak akan berisik lagi
          tidurlah sayang, aku ingin melihatmu lelap dalam mimpi
          aku ingin melihat wajahmu dalam diam tidurmu
Sayang, langit semakin pekat
Sayang, bintang dilangit itu semakin membuat tidurmu kembali nyenyak
Sayang, biar ku coba pakaikan selimut kasih sayang padamu, agar kau merasa hangat dalam tidur
Sayang, kau benar-benar telah tidur
Aku tak akan membangunkanmu lagi
Karena aku akan menyanyikanmu lagu tidur
Sayang, tidurlah....

          Sayang, aku masih terjaga

Senin, 18 Maret 2013

Rindu Anak Rantau




Masih ada sisa-sisa kerinduan yang merayap dari selah jantung hati
Jauh dari pandangan, namun berharap selalu dekat dalam dekapan
Biasanya jam pagi emak masak sambal terasi dengan lalapan daun sawi
Abah jam pagi juga sudah menyalakan mesin mobil tua dari garasi
Suara ramai ribut dari balik kamar mandi adik-adik kecil
Gongsengan riuh dari dapur emak begitu sibuk
Belum lagi gesekan sikat baju yang diayunkan teteh
Masih jelas di dalam rumah yang tercinta
Masih ada sisa-sisa kerinduan yang merayap dari selah jantung hati
Dulu masih saja emak berceloteh ria sambil memasak didapur karena aku bangun siang
Suara berisik mesin mobil tua abah juga bisa membantu menutup telingaku
Kini tak ada lagi suara emak, abah, teteh, dan adik-adik kecil
Hanya ada aku yang sendiri diruangan kecil ini
Jam pagi biasanya ada emak yang asyik memasak
Sekarang bingung apa yang hendak dimakan
Dulu emak berisik marah-marah aku bangun siang
Sekarang aku selalu terlambat kuliah kerena tak ada yang bangunkan
Dulu berisik sekali dengan teriakan adik-adikku
Sekarang sepi sendiri dalam kamar kos kecilku
Ya, kini benar-benar sendiri
Rindu masakan sedap emak
Dulu, emak pernah bilang, Lakukan semua kerena Lillahita’Allah belajar  untuk bersikap dewasa dan mandiri
Karena itu aku tak berani macam-macam
Cukup kuliah dengan menuai prestasi
Kini anakmu sendiri, perut masih saja lapar
Kadang anakmu makan atau berpuasa karena tak ada yang dapat dimakan
Kadang pula menangis merindukan suasana rumah
Atau berdendang sedikit tentang puisi rindu
Masih dalam sisa-sisa kerinduan yang merayap dari  jantung hati
Jauh dari pandangan namun berharap selalu dekat dalam dekapan

Karya: Vinna Wa’afieny AS
Palembang, 13 Maret 2013

       

Minggu, 03 Februari 2013

Untuk Papa


            Air mata dan kesendirian adalah temanku disaat apa pun, aku memiliki seorang papa dan kakak laki-laki, tapi mereka tidak pernah memperdulikan aku, meskipun begitu, rasa hormat dan sayangku tidak pernah rapuh sedikitpun. Yang aku tahu sedari dulu adalah kebencian papa terhadapku karena kematian mama saat melahirkan aku. Aku tahu, cinta papa kepada mama begitu besar, sehingga dengan kepergian mama dan hadirlah bayi mungil yang butuh kasih sayang seorang ayah tidaklah mampu membuat papa ikhlas atas kepergian mama. Dari kecil aku di rawat oleh nenek, tapi, dengan usia nenek yang sudah tua dan renta nenek pun meninggalkan aku untuk selamanya. Kemudian aku di asuh oleh paman yang sangat baik dan menyayangi aku, tapi bibi juga sangat membenciku, karena bibi punya konflik dengan papa, usiaku sudah 13 tahun, aku pun dipulangkan ke rumah papa, aku sangat bahagia, papa dan kakak adalah orang yang sangat aku rindukan, yang ingin sekali aku memeluk dan menatap wajah mereka. Karena dari aku bayi hingga aku berusia 13 tahun, aku tidak pernah bertemu dengan mereka.
            Rumah yang mewah, dengan 2 buah mobil mahal yang terparkir di garasi, dengan taman Bunga yang indah. Inilah rumah papaku, rumah yang dari dulu aku rindukan, saat aku menginjakkan kaki di rumah, seorang papa yang aku rindukan langsung ku peluk hangat
            Tapi…. Papa malah mendorongku sampai aku tersungkur ke lantai,bukan kalimat selamat datang untukku atau balasan pelukan, tapi kalimat yang keluar dari bibir papa adalah “Anak sial, pembunuh, dan kehadiranku tidak pernah diharapkan”.
            Dialah papaku, tanpa dia aku tidak akan ada di dunia ini, memiliki seorang nenek yang menyayangiku, paman yang perhatian kepadaku, dan memiliki papa yang begitu aku sayangi, bagaimanapun sikap kasarnya kepadaku, caciannya yang setiap hari selalu aku dengar, itu tidak akan mengubah rasa cintaku kepadanya. Kini usiaku sudah dewasa, usia 19 tahun yang semakin membuat aku peka dan mengerti perasaan papa.
“ Pa, sarapannya sudah siap, Husnah sudah siapkan bekal buat papa kekantor, ini pa, dibawa terus dimakan ya pa”. papa melempar rantang makanan yang ku berikan
“Saya tidak butuh makanan kamu, kamu pasti sudah memberinya racun, dan mau membunuh saya”. Papa membentakku, terluka hatiku saat papa menuduhkan hal yang sama sekali tidak aku lakukan.
“Ya Allah pa, Husnah nggak mungkin ngelakuin itu, Husnah sayang sama papa”. Aku menangis tersedak, entah untuk yang keberapa kalinya aku menangis.
            Papa langsung pergi meninggalkan aku, derasnya air hujan, mungkin bisa dikalahkan oleh air mataku.
“Husnah…. !!! kak Brian membentakku, “kenapa ini berantakan ?
“Maaf kak, ini salah Husnah, nanti Husnah bereskan”. Aku mencoba menghapus air mataku
“Kamu pasti bikin papa marah lagi kan !!! makanya, kamu tuh pergi aja dari rumah ini, aku juga udah muak harus marah-marah terus”. Sudah sering kali saat papa dan kakak marah mengucapkan kalimat itu, sampai-sampai aku hapal dengan kalimat  itu, dan bisa membuat aku kebal.
            Matahari sudah sepenggal naik, pintu sekolah masih terbuka, belum terlambat untuk mengejar waktu. Karena jika terlambat sedetikpun, satpam sekolah tidak segan-segan melarang siswa untuk masuk.
“Husnah ?” suara yang tidak asing lagi di telingaku, itu Bisma, teman satu kelasku, dia baik, sopan, alim, dan di sukai banyak kaum hawa.
“Ya Bisma ?” aku menoleh ke arahnya
“Pulang sekolah ke toko buku yuk, soalnya ada buku-buku baru yang baru diterbitkan, mau kan”.
“Hem, boleh, aku juga mau beli buku untuk tugas biologi, pulang sekolah kan?”
“Iya, sampai ketemu nanti siang ya”.
            Dialah teman baikku, seorang teman yang menghargai aku, yang peduli kepadaku, dan yang pasti dia juga teman langganan bukuku.
            Waktu sekolah usai, seperti yang dijanjikan Bisma, kami akan pergi ke toko buku, setelah memilih buku yang ia beli.
“Setelah ini kamu mau kemana? Sekarang gantian, aku yang ikut kamu”.
“Aku mau kemakam mama”. Jawabku singkat.
“Ya udah, yuk kita kesana”. Bisma dengan semangatnya
            Pemakaman yang penuh dengan nisan-nisan, disitulah ada seorang wanita yang sangat aku rindukan, yang begitu istimewa dalam sejarah hidupku. Yang tak pernah kulihat wajahnya, disitu ada mamaku, yang begitu aku cintai. Aku terduduk disamping pusara mama smabil menahan air mata agar tidak jatuh dari kelopak mataku, ingin sekali aku bertemu dengan mama dan memeluknya.
            Hufh…. Aku tidak sadar bahwa ada Bisma disini bersamaku, aku terlalu hanyut dan merindukan mama.
“Hei, kenapa ditahan, nangis aja kalau kamu memang mau nangis, luapin kesedihan kamu, biar kamu lega”.
Ah, lagi-lagi Bisma mencoba membuat aku lega, dan tanpa pikir panjang aku pun menangis.
“Mama, Husnah kangen sama mama, seandainya mama ada disini, berkumpul sama Papa, Kakak, dan Husnah”. Bisik hatiku menangis terisak.
           
Angin yang berhembus membuat aku begitu nyaman dengan suasana ditempat ini, ketenangan, kedamaian. Ditempat ini, kurasakan bayang-bayang wajah cantik mama, senyum kebahagiaan papa.
“Gimana? Kamu suka tempatnya?” Bisma mendekatiku yang duduk santai dibalik rumput ilalang. Aku hanya diam dan menjawabnya dengan senyum.
“Ini tempat rahasiaku, kalau aku sedang sedih, sedang takut, aku selalu datang kesini dan berteriak sekuat mungkin, karena dengan begitu aku bisa lega dan jauh lebih baik.”
“Husnah jeleeeek kalau lagi manyuuuuuuuuunnn.” Teriak Bisma dengan puasnya.
Aku tertawa melihat tingkah Bisma yang saat itu mengubah kesedihanku menjadi tawa bahagia.

            Hari minggu, hari weekend, papa masih saja menyibukkan diri di kantor, seperti biasa papa pergi kekantor tidak pernah sarapan, tapi kali ini ku lihat raut wajah papa yang tidak seperti biasanya, papa terlihat pucat dan murung. Meski aku tidak pernah bercengkrama atau bertukar cerita dengan papa, tapi aku selalu melihat perkembangan papa setiap hari.
“Ya Allah yang Maha pelindung, Maha Agung dan Engkau yang memiliki penciptaan langit dan bumi, lindungilah papaku, jagalah setiap langkahnya, berikan ia kekuatan dan ketenangan dimanapun ia berada, hanya Engkau Sang pemilik hati.” Diselah do’aku, tak pernah lupa terselip permohonan kebaikan untuk papa, dan tak jarang pula ada setetes cairan yang menetes diselah-selah pipiku. Setiap hari aku melihat sosok yang tegas, disiplin, berwibawa, setiap hari aku berjumpa dengannya, namun setiap kali juga aku merindukan sosok seorang ayah. Rinduku yang begitu bergejolak, yang selalu bertanya-tanya, kapan kebencian papa akan berakhir, kapan amarah papa akan hilang, lalu mau mengakui aku sebagai puterinya yang selalu merindukan pelukan seorang ayah, kapan Allah akan membuat papa berbalik menyayangiku, kapan ?
            Ahhh…. Ada apa aku ini, kenapa aku jadi mengeluh, kenapa aku jadi putus asa, kenapa aku jadi cengeng, aku yakin, suatu saat aku akan mampu membuat papa menyayangiku, membuat papa tak akan mau kehilangan aku. Karena aku mencintai papa karena Allah, dialah yang membuat aku ada didunia ini, yang membuat aku bisa mengenal dunia, melihat cantiknya Bunga, menatap birunya langit, dan memandang indahnya bulan dan bintang. Karena yang mampu membuat papa sadar akan cintaku padanya adalah Allah, Allah yang lebih tahu apa-apa yang terbaik untukku, tapi aku yakin, akan tiba saatnya kurasakan pelukan papa.
Aku masih menangis diatas sajadahku, kusapu air mata dari sudut mataku, namun rasanya begitu lega dan tenang. Kulihat jam di atas meja belajarku menunjukkan pukul 21:21, sekali-sekali kulihat di garasi mobil, tak kudapati mobil papa terparkir di garasi. Biasanya kalau papa pulang malam hanya sampai pukul 8 malam, mungkin papa akan pulang terlambat malam ini. Kuambil catatan harianku yang rutin setiap hari kutulis, dan memulai cerita hari ini.

12 Maret 2012
Dear Diary….
        Papa, malam ini papa kemana ? kenapa papa belum pulang ? papa pasti belum makan, pa, tadi siang Husnah pergi kepadang ilalang, di sana tempatnya bagus banget pa, Husnah juga kemakam mama, Husnah kangen sama mama, oh ya pa, Husnah pengen banget ngajak papa kepadang ilalang, tempatnya bener-bener bagus pa, Husnah mau teriak lagi disana kalau Husnah bangga punya ayah seperti papa, papa cepet pulang ya, Husnah tunggu dirumah ^_^

        Hari ini aku kesekolah seperti biasa, semalam papa pulang jam 10, mungkin pekerjaan di kantor begitu banyak sehingga membuat papa harus lembur, tapi syukurlah papa pulang dan tidak kurang suatu apa pun.
“Brian, kamu hari ini tolong papa bawa mobil ya, pak tejo kemarin minta cuti, jadi papa minta kamu sementara bawa mobil.” Pinta papa saat sarapan pagi di meja makan.
“Hem, iya pa, sekalian Brian mau pinjem mobil papa buat kekampus, motor Brian lagi masuk bengkel, kebetulan dech.” Bujuk kakak sambil senyum-senyum pada papa agar di izinkan.
“Iya boleh, tapi ingat buat jemput papa nanti.”
“Ok boss.” Sambil mengakat tangannya seperti hormat pada komandan apel.
            Ingin sekali aku bersuara, dan membuka percakapan pada papa, lagi-lagi aku takut papa akan marah seperti biasa, karena aku tidak ingin menghilangkan mood papa pagi ini, lalu kubiarkan saja papa menikmati sarapannya.
“Pa, Husnah pergi sekolah dulu pa.” Aku mengulurkan tangan untuk berpamitan pergi.
“Sudah siap An, ayo kita berangkat.” Papa mengacuhkan aku, seolah-olah aku tidak ada di hadapannya saat ini, tanpa melihat kearahku sedikitpuun papa dan kak Brian berlalu dari pandanganku. Mataku sudah berkaca-kaca, namun kujaga agar tetap berada dikelopak mataku dan tidak jatuh setetespun, segera kualihkan pandanganku dan bergegas keluar rumah untuk kesekolah.
“Husnah, pulang sekolah kita kepadang ilalang lagi yuk.” Ajak Bisma padaku.
“Maaf Bisma, aku harus langsung pulang nanti, aku ingin sekali kesana, tapi aku harus pulang, kapan-kapan saja ya.” Padahal begitu ingin aku pergi kesana, tapi kurasa aku harus pulang.
“Yah, sayang sekali, ya udah nggak apa-apa dech.”
            Kutunaikan solat zuhur, hanya pada Dia aku mengadu, hanya pada Dia yang tahu hatiku, hanya pada Dia kuserahkan keresahan luka ini.
“Ya Allah, tak sedikitpun aku berpaling pada-Mu, tak sedetikpun aku lupa pada-Mu, tapi ku hanya ingin papaku, aku hanya ingin dia mengakui aku sebagai puterinya, Engkau tahukan Ya Allah betapa besar cintaku pada papa. Tapi Engkau juga lebih tahu apa yang terbaik untukku. Kunantikan takdir indah dari-Mu wahai pemilik Hati.” Kuakhiri do’aku dengan linangan air mata. Dengan tersedu-sedu kutatap foto papa yang kupajang diam-diam dimeja kamarku. Karena jika papa tahu, papa tak segan-segan memarahiku dan mengambil foto itu. Yaaahhh… untuk menyimpan fotonya saja tidak boleh. Tapi dia memang tersimpan dihatiku sampai kapan pun.
            Suara mobil papa terdengar dari luar, ku lihat kakak berlari tergesa-gesa masuk kekamar papa dengan panik.
“Ada apa kak ? kakak cari apa ? “ Tanyaku dari luar kamar papa
“Papa masuk rumah sakit, aku lagi cari rekening papa, buat bayar administrasi, lagian buat apa kamu nanya-nanya, nggak penting juga kasi tau kamu.” Kakak masih membongkar lemari papa.
            Kelabu yang terbayang dalam benakku, gelap penglihatanku, napasku sesak, terengah-engah jantungku berdetak, guruh kian bersahutan dalam dadaku, segalanya jadi menakutkan setiap apa yang kulihat. Ya Allah, bukan ini yang aku minta dari-Mu, bukan….
“Husnah ikut kerumah sakit ya kak.” Pintaku dengan terengah-engah.
“Nggak usah, kamu dirumah aja, jaga rumah, karena nanti aka nada rekan papa mau kerumah.” Kakak pergi begitu saja.
            Tapi aku begitu ingin menemani papaku dirumah sakit, yang terbaring disana adalah papaku, yang sakit itu adalah bagian nyawaku.
            Kakak pulang dengan wajah sedih, kakak mengambil beberapa pakaian papa, lalu pergi lagi kerumah sakit. Papa sakit apa ? tanda tanya yang begitu banyak dalam benakku. Aku mencoba untuk pergi diam-diam kerumah sakit tanpa sepengetahuan kakak.
Kulihat papa yang begitu lemah terbaring dirumah sakit, ada rencana apa dibalik ini Wahai pemilik hati. Seorang lelaki yang sebaya dengan papa keluar dari ruangan papa dan bernapas lega. Itu adalah dokter yang menangani papa.
“Syukurlah, masih ada orang yang baik didunia ini, dan mau mendonorkan hatinya untuk pak Darmawan, dan operasi ini juga lancar, beberapa menit lagi pak Darmawan akan sadar. Kita tunggu saja perkembangan berikutnya.” Dokter itu menjelaskan pada kakak.
“Syukurlah…. Terima kasih dokter.” Kakak sekali-sekali menghapus air matanya.
            Aku harus segera pulang kerumah sebelum kakak lebih dulu sampai di rumah, aku berlari kekamar dan membuka catatan harianku, dan betapa bahagianya aku, papaku sudah bisa sembuh lagi. Berulang-ulang aku menghapus air mataku yang dari tadi jatuh tak berhenti.
            Mataku gelap, kabut yang Nampak dipandanganku, kepalaku berdenyut keras dan semakin keras, tanganku gemetar, badanku kaku. Tapi sebait masih sempat kutulis di Diaryku. Terdengar langkah kaki yang masuk kekamarku. Tapi aku sudah semakin lelah untuk mencoba bernapas, terasa berat untuk membuka mata, lalu aku tinggalkan catatan untuk tidur sebentar. Aku lelah, dadaku semakin lama semakin sesak, cairan merah mulai keluar dari hidung dan mulutku. Inilah saatnya Tuhan tunjukkan padaku, bahwa aku akan melakukan apapun untuk papa.
            Tuhan, aku ingin Engkau menjaga papaku saat penjagaanku terkadang tak mampu merangkulnya dalam dekpan nyata, tapi biarkan papa hidup dengan hatiku yang dimilikinya saat ini. Bahwa hatiku begitu dekat dengan jantungnya. Bahwa hati itu tidak akan pernah berbohong. Aku berharap, selepas ini, papa akan tahu apa yang aku rasakan selama ini.
            Terdengar langkah kaki yang masuk keruanganku, meskipun samar-samar kulihat, aku masih mendengar sedikit suara lembut menangis kearahku. Lalu pelukan hangat yang luar biasa aku rasakan, tetes demi tetes tangisan itu membasahi wajahku, dingin tangannya menggenggam jemariku begitu kuat. Seakan-akan ia takut kehilanganku. Suara itu semakin samar, perlahan membuat aku penasaran, siapa yang menangisi aku ? Namun semakin samar aku melihat, semakin kuat pula pelukan itu, kecupan bibir yang terjun ke keningku semakin membuat aku mencoba membuka mata. Ohhhh….
            Betapa terkejutnya aku bila yang kulihat adalah papa, pelukan itu semakin aku rasakan dan aku hanyut dalam pelukan papa, Allah, inikah saat-saat yang aku rindukan tiba ? inikah papaku ? aku ingin lebih lama lagi merasakan pelukan papa. Aku ingin lebih lama lagi ada dalam dekpannya, tapi dadaku semakin sakit, aku merasakan sakit yang teramat dalam, sakit sekali. tapi pelukan papa perlahan membuat rasa sakit itu hilang.
            Ah…. Rasa sakit itu hilang tiba-tiba, aku hanya butuh tidur sebentar sambil menikmati pelukan papa.


02 januari 2010
Dear Diary….
Usiaku sudah masuk ke 16 tahun, tidak ada perayaan atau tidak ada ucapan dari kakak atau papa, tapi dengan melihat wajah bahagia mereka aku sudah cukup bahagia, bahkan sangat bahagia, aku mendapatkan kado dari Bisma, ia memberikan aku sapu tangan, dia bilang untuk menghapus air mataku agar tidak menangis lagi. Dia memang teman baikku.







10 April 2010
Dear Diary….
Hari ini kakak ulang tahun, aku memberikan kakak jam tangan, agar kakak tidak kesiangan lagi, tapi kakak malah memberikan jam tangan itu pada temannya, mungkin kakak tidak suka jam yang aku berikan. Tapi, aku sangat menyayangi kakakku, selamat ulang tahun kak. ^_^


22 Juli 2010
Dear Diary….
Papa, Husnah tidak pernah menyesal terlahir sebagai anak papa, Husnah tidak pernah marah papa selalu memperlakukan Husnah sedemikian rupa, Husnah tetap menyayangi papa apa pun yang terjadi, pa, Husnah rindu papa, Husnah pengen banget papa tau kalau Husnah takut kehilangan papa. Pa, papa adalah separuh nyawa Husnah, denagrkan kata hati Husnah ya pa. husnah sayang papa




20 desember 2010
Dear Diary….
Malam kemarin aku tidur di makam mama, aku sangat rindu mama, aku ingin sekali bertemu mama, tapi selepas aku pulang, papa sama sekali tidak mengkhawatirkan aku atau menanyakan kemana saja aku semalam. Tapi papa malah bilang. “Kenapa pulang, mending nggak usah pulang sekalian, nggak ada gunanya juga kamu disini.” Yah, lagi-lagi aku harus mengebalkan hati dan perasaanku.


01 januari 2012
Dear Diary….
Papa dan kakak malam ini pergi merayakan tahun baru, aku hanya dirumah membaca buku dikamar. Papa sama sekali tidak mengajakku, jangankan untuk mengajak, menawarkan saja tidak. Hufh…





14 maret 2012
Dear Diary….
Papaku sakit, papaku harus berjuang antara hidup dan mati, papaku harus menahan sakit yang teramat dalam, aku takut, aku takut kehilangan dia. Allah, aku tidak akan meminta apapun dari-Mu, kali ini aku hanya ingin selamatkan papaku, Engkau yang Maha menyelamatkan. Aku mohon.

15 maret 2012
Dear Diary….
Sekarang aku tau, papa menahan sakit yang teramat sangat, hati papa mengalami pembusukan, papa harus dioperasi, papa tidak boleh pergi, papa tidak boleh sakit. Ya Allah, beri aku petunjuk.

16 maret 2012
Dear Diary….
Separuh nyawaku sudah di operasi, papa akan baik-baik saja, papa akan tetap sehat, papa akan berkumpul lagi dengan kak Brian, bekerja seperti biasa, melihat cantiknya bunga, menatap indahnya langit, memandang terangnya bulan dan bintang, papa akan baik-baik saja. Husnah lelah, mata husnah gelap, husnah tidak mampu melihat lagi, husnah ingin menulis lebih banyak lagi, tapi husnah tidak sanggup. Husnah benar-benar  takut pa, husnah takut.
 Allah….
Husnah selalu menyayangi papa, Husnah pergi pa, tapi HATI HUSNAH HANYA UNTUK PAPA.

Sabtu, 02 Februari 2013

Jihad

Dari puncak bukit
Terbentanglah jalan membayang dihadapan
Hidup dan mati
Lalu dari lembah bergemalah seruan
Hingga meringkik bunyi dan dentuman senjata
Gunung-gunung telah dijaga sampai batas-batas pedesaan

Barisan tak bersenjata, tanpa bekal tanpa sarapan
Hanyalah kesetian dan sekarung ketakutan
Seakan-akan islam adalah neraka
Tempat memimpikan surga

Seorang demi seorang membawa pelita
Dengan menghunus pedang ditangannya, laki, perempuan
Kecuali anak-anak, maju kedepan

Meskipun hanya sejumput do'a
Tak mengapa, ini pun juga senjata
Bangkitkan keberanian dipupuk pedih dan ketakutan

Dalam butir-butir cahaya terang
Dan tertawa begitu riang
Menyejukkan cuaca yang tegang
Surga-surga yang hilang tak berbicara
Dunia baka tak ada tempatnya

Mereka tewas dengan wajah menyembunyikan kecewa
Dituangnya senyum penuh makna

Shimponi Malam

Hati tersibak antara zina dan setia
Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu
Demikianlah kisah cinta, yang bermula dipekan kembang
Dipagi buta sekitar kota
Dimusim bunga dan remang malam

Demikianlah kisah dari wanita malam
Ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zina, cinta, dan kota
Karena Dia, Maha Mengetahui

Maka malam itu diranjang yang penuh dosa
terbawa kesucian
Bersatu kutuk nafsu dan Rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan

Ah.... sekali lagi Dia Maha Mengetahui
Segala nafsu dihati, Dia Maha Mengetahui
Mungkin perempuan terjerat faktor ekonomi

Demikianlah
Cerita Tuhan
Ketikat telah terkubur dalam tanah
Air mata resah
Dan bunga-bunga merekah
Dibumi manis
Ketika engkau ditanya para malaikat

Lalu apa kan dijawab ?

Selasa, 29 Januari 2013

Negeri Para Bedebah

Ada suatu negeri yang di huni para bedebah
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah ?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Menipu rakyat dengan pemilu yang jadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Dan ketika sumpah jabatan sekedar formalitas
Hancurkan hukum islam
Memang tugas para bedebah

Maka, bila negerimu di kuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya

Maka, bila negerimu di kuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Bila tak mampu dengan diskusi
Itulah selemah-lemahnya iman manusia

Kematian

Di tengah segala hamparan
Segala yang kuat terus menyahut
Segala yang lemah tenggelam hilang
Demi laut yang tak pernah mengecap kebahagiaan abadi
Demi rasa yang tak pernah menghirup kecintaan sejati
Maut bagimu bukan datang tiba-tiba
Tapi beri tanda, serupa sebuah maklumat
Maut bukan derita, namun panggilan
Karena, bila sampai di dada
Lalu kau sebut nama Tuhan
Kemudian, tersenyum, bagai peristiwa perpisahan
Pelan-pelan pudar
Terasa bagai cahaya
Dari sebuah pelita
Padam...
Menghilang
Yang tinggal hanya nisan