Wajah sayu itu masih dalam tatapannya yang kosong, sesekali memejamkan matanya dalam-dalam, memaksa untuk tidak mengingat, melawan untuk tidak kembali, namun semakin Ia memaksa, maka semakin sakit pula dadanya. Semakin lama Ia memejamkan matanya bersama itu pula air mata itu jatuh, bahkan lebih deras dari rintik hujan. Sesenggukan Ia menangis, meratapi yang telah terjadi. Suara angin pecah oleh tangisnya yang tanpa suara.
Lima tahun lalu, ketika Ia bersembunyi dari dosa besar yang semua orang tidak pernah tahu, luka dan derita yang tidak pernah Ia ceritakan, luka yang menyayat, peristiwa yang tidak pernah Ia bayangkan. Melawannya sendirian. Dosa yang membawa derita, masih menghantui sampai mata sayu itu terpejam lalu terkubur dalam tanah menerima hukuman atas perbuatannya. Dua tahun lalu, saat semua yang indah merenggut kehidupannya. Lalu meninggalkannya bersama derita. Ia tidak ingin mengingat semua, namun hujan akan selalu datang membawa Ia kembali pada kenangan.
"Aku mencintaimu, biarkan kisah kita menjadi satu, untuk kesekian kalinya, biarkan kita menyatu". Bisikan tepat ditelinga kiri memecah keheningan malam yang sunyi. Ciuman bertubi-tubi terus menghujani wanita cantik berambut ikal dengan hidung bertulang sempurna, mata bulatnya terpejam perlahan, bulu mata lentiknya ikut turun mengikuti irama mata yang terkatup, bibir bawahnya sesekali Ia gigit perlahan.
"Karena kita saling memiliki, tidak akan meninggalkan satu sama lain". Suara lembutnya menyahut perlahan.
Lelaki tampan dengan kumis tipis itu memeluk erat si wanita erat. Seakan tak ingin melepaskan walau hanya sesaat.
"Nur, aku akan segera menikahimu, aku ingin terus seperti ini dalam keadaan halal, aku akan segera melamarmu". Ucap lelaki itu dengan penuh keyakinan sambil memasang kancing bajunya yang terbuka.
"Iya, aku akan menunggumu datang, sudah cukup kita melakukan kesalahan ini, nikahi aku. Lalu aku hanya akan menjadi milikmu seutuhnya". Ucap wanita yang di panggil Nur, keduanya sibuk merapikan diri lalu bergegas saling melepaskan kepergian masing-masing.
Nur melambaikan tangan menatap kepergian lelaki tampan yang baru saja memberikan malam indah baginya dengan segudang keromantisan.
Angin menghempaskan lelah, melemparkan segala pedih perih, hujan menyapu bersih kenangan. Yang ada hanya tinggal luka dan nestapa, menyeruak pada relung tabir masa lalu. Merampas segala yang ada, cinta, kepercayaan, juga kenangan.
"Nur," suara wanita paruh baya memecah lamunan Nur yang masih menatap luar jendela yang basah. Dengan sigap tanpa perintah tangannya menghapus derai air mata yang dari tadi membasahi pipinya.
"Iya bu," Nur menoleh sambil menutup jendela yang terbuka.
"Ada apa?" Sambil mendekati Nur yang sibuk dengan hordeng terbuka.
"Tidak apa-apa bu." Menyunggingkan senyum simpul yang manis.
"Tidurlah, besok akan ada yang datang untuk pemerikasaan rutin."
"Iya bu." Jawab Nur singkat.
Nur tidak ingin membagikan dukanya kepada siapapun, karena Ia berpikir cukuplah duka itu Ia simpan sendiri tanpa seorang pun yang tahu. Juga termasuk Larsih wanita paruh baya itu.
Perlahan Nur naik keatas ranjang, berharap malam ini Ia akan tidur dengan pulas tanpa mengingat semua kenangan dan masa lalu yang kelam. Ia tarik perlahan selimut tebal sebagai penghangat tidur panjangnya. Matanya sedikit membengkak karena sudah dua jam lebih Ia menangis. Perlahan Ia mulai memejamkan mata dan melayang pada dunia mimpinya.
"Aku mencintaimu Nur, aku akan menikahimu. Itu janjiku." Bara laki-laki lima tahun lalu yang berjanji akan menikahinya.
"Aku juga mencintaimu." Nur wanita biasa yang hanya dimabuk asmara yang mencintai Bara.
"Aku hamil, kamu bilang akan menikahiku?" Sekarang aku hamil dan kapan kamu akan menikahiku?" Sambil terisak menunduk memegang perut yang masih datar.
"Iya, aku akan menikahimu, aku janji, besok aku akan kerumahmu." Memeluk Nur penuh keyakinan.
"Berjanjilah untuk bertanggung jawab." Menatap Bara dengan penuh harapan.
Hari yang ditunggu Nur itu tiba, harap-harap cemas akan kedatangan Bara untuk melamar dirinya, segera menikahinya dan bertanggung jawab atas segala perbuatan dosa yang telah dilakukan. Nur hanya mondar mandir menanti sang kekasih datang. Kedua orang tua Nur pun sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi.
"Dimana dia Nur, sudah tiga jam kita menunggu." Ibu Nur pun lebih tidak sabar.
"Mungkin sedang di jalan ma." Jawab Nur singkat penuh kecemasan.
Derrrttt, derrrrrt, derrrrt. Handpone Nur diatas meja bergetar, segera Ia raih teleponenya, dari seberang sana ada suara laki-laki bicara.
"Halo Bara, kamu dimana." Tanya Nur cepat
"Maaf neng, ini yang punya hp kecelakaan, saya cuma bisa telpon ke eneng karena nama nomor eneng yang sering dihubungi.
Tanpa suara dan tanpa pertanyaan lebih panjang Nur terhenyak jatuh ke lantai.
Lima tahun lalu menjadi mimpi buruk setiap malam Nur, tidurnya tak pernah senyaman dulu. Senyumnya tak terlihat sebahagia dulu.
Semenjak kematian Bara lima tahun lalu Nur menjadi pendiam, tidak membuka diri, juga membuka hati. Calon buah hati hasil dari kesalahannya di masa lalu pun tidak ingin melihat dunia ibunya.
Nur hanya seorang diri, ditempat yang jauh dari keramaian, jauh dari cinta, jauh dari segalanya. Hanya saja kenangan itu tidak mau pergi dari kehidupan Nur.
"Selamat pagi Nur," Bu Larsih selalu saja ramah kepada Nur, menyapa juga melayani keperluan Nur.
"Pagi bu." Nur tersenyum simpul sambil merapikan tempat tidurnya.
"Hari ini bu dokter tidak datang, dia akan digantikan dengan asistennya, jam sembilan dia akan datang." Sambil membantu Nur membuka hordeng dan jendela. Nur hanya mengangguk pertanda Ia memberi jawaban iya.
Ditempat inilah Nur mencoba bangkit dari keterpurukan, mencoba membuang semua kenangan, bersama yang lain. Bersama wanita-wanita lain yang beberapa dari mereka mengalami kenangan buruk dimasa lalu. Rumah Singgah.
Lima tahun lalu Nur datang dengan segala macam luka didalam hatinya, kepergian Bara yang begitu mendadak, keguguran diawal kehamilannya. Lalu kangker rahim yang terus menggerogoti dirinya hingga saat ini. Nur hanya berprasangka baik pada Tuhannya, bahwa Tuhannya hanya akan menghukumnya didunia saja. Menebus segala dosanya dimasa lalu. Ia hanya merasa bahwa Ia lebih beruntung di banding Bara yang pergi lebih dulu sebelum memohon pengampunan.
Angin menghempaskan lelah, melemparkan segala pedih perih, hujan menyapu bersih kenangan. Yang ada hanya tinggal luka dan nestapa, menyeruak pada relung tabir masa lalu. Merampas segala yang ada, cinta, kepercayaan, juga kenangan.
"Nur," suara wanita paruh baya memecah lamunan Nur yang masih menatap luar jendela yang basah. Dengan sigap tanpa perintah tangannya menghapus derai air mata yang dari tadi membasahi pipinya.
"Iya bu," Nur menoleh sambil menutup jendela yang terbuka.
"Ada apa?" Sambil mendekati Nur yang sibuk dengan hordeng terbuka.
"Tidak apa-apa bu." Menyunggingkan senyum simpul yang manis.
"Tidurlah, besok akan ada yang datang untuk pemerikasaan rutin."
"Iya bu." Jawab Nur singkat.
Nur tidak ingin membagikan dukanya kepada siapapun, karena Ia berpikir cukuplah duka itu Ia simpan sendiri tanpa seorang pun yang tahu. Juga termasuk Larsih wanita paruh baya itu.
Perlahan Nur naik keatas ranjang, berharap malam ini Ia akan tidur dengan pulas tanpa mengingat semua kenangan dan masa lalu yang kelam. Ia tarik perlahan selimut tebal sebagai penghangat tidur panjangnya. Matanya sedikit membengkak karena sudah dua jam lebih Ia menangis. Perlahan Ia mulai memejamkan mata dan melayang pada dunia mimpinya.
"Aku mencintaimu Nur, aku akan menikahimu. Itu janjiku." Bara laki-laki lima tahun lalu yang berjanji akan menikahinya.
"Aku juga mencintaimu." Nur wanita biasa yang hanya dimabuk asmara yang mencintai Bara.
"Aku hamil, kamu bilang akan menikahiku?" Sekarang aku hamil dan kapan kamu akan menikahiku?" Sambil terisak menunduk memegang perut yang masih datar.
"Iya, aku akan menikahimu, aku janji, besok aku akan kerumahmu." Memeluk Nur penuh keyakinan.
"Berjanjilah untuk bertanggung jawab." Menatap Bara dengan penuh harapan.
Hari yang ditunggu Nur itu tiba, harap-harap cemas akan kedatangan Bara untuk melamar dirinya, segera menikahinya dan bertanggung jawab atas segala perbuatan dosa yang telah dilakukan. Nur hanya mondar mandir menanti sang kekasih datang. Kedua orang tua Nur pun sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi.
"Dimana dia Nur, sudah tiga jam kita menunggu." Ibu Nur pun lebih tidak sabar.
"Mungkin sedang di jalan ma." Jawab Nur singkat penuh kecemasan.
Derrrttt, derrrrrt, derrrrt. Handpone Nur diatas meja bergetar, segera Ia raih teleponenya, dari seberang sana ada suara laki-laki bicara.
"Halo Bara, kamu dimana." Tanya Nur cepat
"Maaf neng, ini yang punya hp kecelakaan, saya cuma bisa telpon ke eneng karena nama nomor eneng yang sering dihubungi.
Tanpa suara dan tanpa pertanyaan lebih panjang Nur terhenyak jatuh ke lantai.
Lima tahun lalu menjadi mimpi buruk setiap malam Nur, tidurnya tak pernah senyaman dulu. Senyumnya tak terlihat sebahagia dulu.
Semenjak kematian Bara lima tahun lalu Nur menjadi pendiam, tidak membuka diri, juga membuka hati. Calon buah hati hasil dari kesalahannya di masa lalu pun tidak ingin melihat dunia ibunya.
Nur hanya seorang diri, ditempat yang jauh dari keramaian, jauh dari cinta, jauh dari segalanya. Hanya saja kenangan itu tidak mau pergi dari kehidupan Nur.
"Selamat pagi Nur," Bu Larsih selalu saja ramah kepada Nur, menyapa juga melayani keperluan Nur.
"Pagi bu." Nur tersenyum simpul sambil merapikan tempat tidurnya.
"Hari ini bu dokter tidak datang, dia akan digantikan dengan asistennya, jam sembilan dia akan datang." Sambil membantu Nur membuka hordeng dan jendela. Nur hanya mengangguk pertanda Ia memberi jawaban iya.
Ditempat inilah Nur mencoba bangkit dari keterpurukan, mencoba membuang semua kenangan, bersama yang lain. Bersama wanita-wanita lain yang beberapa dari mereka mengalami kenangan buruk dimasa lalu. Rumah Singgah.
Lima tahun lalu Nur datang dengan segala macam luka didalam hatinya, kepergian Bara yang begitu mendadak, keguguran diawal kehamilannya. Lalu kangker rahim yang terus menggerogoti dirinya hingga saat ini. Nur hanya berprasangka baik pada Tuhannya, bahwa Tuhannya hanya akan menghukumnya didunia saja. Menebus segala dosanya dimasa lalu. Ia hanya merasa bahwa Ia lebih beruntung di banding Bara yang pergi lebih dulu sebelum memohon pengampunan.
