Aku adalah karyawan swasta dari perusahaan terbesar di kotaku. Usiaku menginjak angka yang tak lagi muda, 25 tahun adalah usia matang untuk membangun rumah tangga. Tapi karena aku adalah karyawan yang baru saja di angkat menjadi karyawan tetap, maka aku memutuskan untuk menunda pernikahanku, sekalipun aku selalu ditanya, kapan menikah. Menunggu satu sampai dua tahun mungkin bisa, kalau tidak, mungkin pacarku saat ini bukan jodohku jika kami harus berpisah.
Tinggal dikota kecil di pulau Sumatera seperti ini bukanlah hal yang sulit, terlebih aku adalah orang asli Sumatera. Di lingkungan yang sedikit keras tata bicaranya, bukan karena marah melainkan logat bicara orang Sumatera memang seperti itu. Aku Adit, pria bujang yang sedikit tampan dan menawan, keluargaku bilang, aku ini berkarisma.
Menjadi karyawan swasta PT Kereta Api adalah impianku sejak selesai dari bangku SMA. Gaji yang lumayan besar, dan sedikit memiliki nama di daerahku. Siapa sangka diusia 25 tahun aku sudah mampu membeli sebidang tanah untukku bangun istana kecil bersama sang bidadari pendamping hidupku.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kantor, aku bekerja di bagian sarana dan prasarana. Bagian pemberkasan dan berkutat dengan komputer, kadang pula sesekali mengecek diluar lapangan jika diperlukan. Tempatku bekerja cukup luas, hampir 20-25 hektar luas bangunan. Pusat kereta api terbesar di Sumatera Selatan. Tak heran jika tetanggaku terkagum-kagum jika mendengar tempat kerjaku.
Tidak ada kata santai dalam bekerja, semua memiliki pos masing-masing. Tidak terkecuali aku, tempatku bekerja adalah tempat yang terkenal dengan peninggalan penjajah Belanda, termasuk rel kereta yang selalu kulalui saat pulang kerja, wisma rumah singgah para karyawan dari luar kota, termasuk bangunan tua ditempatku bekerja.
Kesan horor begitu melekat di tempatku bekerja, sangat sering kudengar cerita-cerita mistis yang di alami rekan-rekan kantor. Bahkan pernah ada stasiun televisi swasta yang meliput mengenai hal-hal mistis yang di pandu oleh host ternama Tukul Arwana. Namun gagal sebelum liputan di mulai, karena kabar yang kudengar crue begitu banyak yang kerasukan, bahkan sebelum mereka masuk memulai acara. Sampai akhirnya liputan pun batal digelar.
Aku sendiri hanya mendengar cerita-cerita kosong mengenai makhluk tak kasat mata yang sama sekali belum kulihat dengan mata kepalaku sendiri, maka dari itu aku hanya menyebutnya cerita kosong. Dan aku sama sekali tidak ingin melihat atau diperlihatkan.
Senin, Januari 2018
Langit begitu cerah, rutinitas padat di hari senin siap menjadi tugas di pagi hari sampai larut malam, karena jadwal giliran lembur satu minggu kedepan telah menanti dengan lembaran kertas yang berkibar menghadap komputer yang sudah tua.
Waktu menunjukkan pukul 20:00, aku dan Doni rekan kerjaku masih sibuk dengan lemburan, ruangan begitu dingin karena memang memakai pendingin ruangan. Beberapa kali kudengar kerucuk dari dalam perutku yang memanggil untuk segera di isi.
"Bro aku mau keluar nih, beli makanan, mau nitip nggak?" Tanyaku pada Doni yang masih sibuk dengan kerjanya.
"Boleh deh, nasi ayam aja ya." Sahutnya tanpa menoleh kepadaku.
Aku pun berlalu menuju keparkiran, yang jaraknya lumayan jauh dari kantorku. Begitu lengang dan hening, hanya ada lampu dibeberapa titik didepan teras kantor lain yang sudah sepi. Ku dapati ada pak Joko, satpam yang juga sedang sift malam lewat di depan kantor sambil memungut daun-daun kering.
"Udah malem pak, ngopi aja dulu sambil jaga." Tegurku karena merasa aneh malam begini masih memungut sampah. Pak Joko menoleh kearahku sambil tersenyum.
"Iya mas, nanti didepan pos saja." Jawabnya, dan aku meninggalkannya menuju parkiran.
Betapa terkejutnya aku ketika dari jauh kudapati Pak Joko duduk di pos satpam sambil merokok dengan santainya.
Ragu-ragu aku mendekati pak Joko yang asik dengan batang rokok yang mengepulkan asap, karena mau atau tidak aku pun harus melewati dia sebelum aku sampai di parkiran.
"Pak Joko mari pak." Sapaku dengan hati-hati.
"Mari mas, mau kemana? Sudah selesai lemburnya?" Jawabnya tanpa ada yabg patut dicurigai.
"Belum pak, ini lagi mau cari makanan keluar, mari." Jawabku dengan meninggalkan begitu banyak pertanyaan. Siapa yang ada di teras kantor yang baru sebelumnya kulihat. Yang mana Pak Joko yang sesungguhnya. Kutinggalkan dia yang masih menikmati rokoknya menuju halaman parkir untuk mengambil sepeda motorku, siapapun yang kulihat barusan selagi Ia tidak menggangguku tak apalah, muncullah sesuka hati kalian. Sekilas ucapan itu yang terbersit didalam hatiku.
Hanya ada lima buah sepeda motor yabg terparkir dihalaman, hanya ada sedikit yang lembur malam ini. Aku segera melajukan sepeda motorku keluar menuju rumah makan terdekat. Dengan memesan dua bungkus nasi ayam untukku dan Doni.
***
"Nih bro nasinya, ayuk makan." Sambil mengeluarkan bungkusan nasi dari dalam kantong plastik.
"Ntar aja bro, kau makan aja duluan, kerjaanku masih tanggung nih, dikit lagi". Jawab Doni yang masih sibuk dengan kertas kosong yang entah mau Ia apakan.
"Ya udahlah, aku duluan nih." Sambil menyantap makananku dengan lahap, karena memang aku sudah sangat lapar.
"Bro titip dulu ya, aku mau ke toilet sebentar." Doni meninggalkanku yang masih sibuk dengan butiran-butiran nasi.
Sudah setangah jam Doni tidak juga keluar dari toilet, tapi dari dalam toilet terdengar suara keran air yang terus mengalir. Dari aku makan sampai aku kembali melanjutkan kerjaku Doni tidak juga keluar. Kudekati meja kerjanya, kulihat satu persatu kertas yang Ia kerjakan dari tadi, hanya ada kertas kosong yang berserakan.
"Deeeerrrtt" (suara notifikasi pesan)
"Bro sory ya, tadi aku kekantor staf depan, Pak Ijal manggil minta data lokomotif, nasinya entar aku ambil, 15 menit lagi aku otw". Pesan dari Doni baru saja membuat kedua mataku terbelalak menatap ponselku yang menjadi saksi kengerian malam ini. Pada jam segini mereka sudah tidak tahan untuk muncul dan mulai menerorku dengan rupa manusia yang kukenal. Kuremas rambut kepalaku, tiba-tiba kepalaku sakit dan berdenyut-denyut.
Kulangkahkan kakiku yang terasa berat menuju pintu toilet yang sangat dekat dengan meja kerjaku yang hanya berjarak 2 meter. Suara keran air masih berbunyi, tapi dengan volume suara lebih sedikit. Kubuka gagang pintu dengan sangat hati-hati. Betapa kagetnya aku saat dibuka tak ada siapapun didalam, lantai toilet juga kering, tak ada bekas basah air seperti baru selesai digunakan. Segera kututup pintu toilet dan mengucap asma Allah lalu terduduk di bangkuku.
Jantungku berdebar lebih cepat dari detakan manusia normal, tak berirama, seperti suara musik orgen tunggal di kawinan tetangga, berdebar dan sangat kencang. Kubaca surah pendek apa saja yang aku hapal. Sehingga beberapa detik saja debaran jantungku terasa normal kembali.
"Asslamu'alaikum," Suara Doni mulai memasuki ruangan yang begitu hening
"Wa'alaikumsalam," jawabku dengan penuh rasa bahagia mendapati kehadiran Doni.
"Kok pucet bro, udah makan belom," Doni yang menangkap hal tak biasa dari wajahku yang masih trauma.
"Udah bro, kecapekan aja ini." Aku yang tidak ingin bercerira sekarang, karena ini masih pada wilayah mereka, aku tidak ingin menyebut-nyebut mereka diwilayahnya.
"Aku ambil ya nasinya, makasih ya, aku balik lagi ke sana, kerjaan masih banyak." Tanpa menunggu aku menjawab Doni berlalu dari balik pintu yang hanya meninggalkan siluet tubuhnya dibawah lampu teras. Bersamaan dengan kepergian Doni kudapati sosok yang melewati pintu sambil melihat kearahku yang hanya diam mematung.
Jantungku berdetak tak berirama, rasanya aku ingin pingsan seketika, setelah itu bangun lalu berada di kamarku, hanya itu saja pintaku. Namun malam begitu panjang, lemburku masih belum selesai. Ada sisa waktu tiga jam lagi untuk segera kembali kedunia indahku. Keluar dari tempat yang benar-benar membuatku berpikir diluar nalar. Selama ini aku begitu santai mendengar cerita kosong itu, malam ini cerita itu menjadi sebuah catatan panjang yang akan aku ceritakan kelak kepada anak cucuku, betapa hidup kita sangat dekat dengan makhluk gaib.
Jam menunjukkan pukul 21.12 aku mencoba mengalihkan segala perasaan takut yang ada, ingin rasanya hanya fokus pada komputer di depan mata tanpa menoleh kesana kemari, ruangan begitu hening, padahal pendingin ruangan kumatikan agar tak menambah hawa dingin yang masuk ke sela benang kain bajuku. Tapi rasa penasaranku lebih besar dari pada rasa takutku, mataku begitu berani melihat sekeliling ruangan, memutar dari segala sudut dan arah. Namun penyesalan tiada artinya ketika mataku menangkap sosok yang begitu kecil, seperti anak yang berusia 4-5 tahun. Ia telanjang dada memainkan pulpen yang berada di meja kerja Doni, yang jaraknya hanya 1 meter dari meja kerjaku. Ia memutar kepalanya 180 derajat dari putaran kepala manusia normal, kemudian menghempaskannya ke meja, sambil tertawa cekikin, Ia lakukan terus berulang-berulang.
"Allahuakbar, Allahuakbar," berkali-kali ku ucapkan bahwa tidak ada makhluk yang lebih besar kuasanya selain Allah. Hany kalimat itu yang mampu aku ucapkan dengan begitu lantang. Namun bukannya pergi, makhluk kecil itu menatapku penuh dengan amarah, matanya merah menyala, tubuhnya berubah menjadi hitam legam, mencengkeram kemaluannya lalu melompat ke atas meja lalu kembali tertawa cekikikan.
"Kikik kikik kikik, temani aku, main sama aku," Ia terus tertawa namun tetap dengan mata melotot menatapku yang terus mengucapkan takbir. Tak terasa bulir bening jatuh dari pipiku, entah aku menangis karena apa, aku hanya menerka-nerka, mungkinkah aku terlalu takut, atau aku sedang merasakan kekuasaan Allah, bahwa makhluk lain selain manusia memang benar adanya, bahkan mereka hidup saling berdampingan.
Takbir yang terus ku ucapkan tak berhenti keluar dari bibir ini, hanya kebesaran Allah yang mampu mengalahkan segalanya.
Makhluk kecil itu masih tertawa di atas meja sambil menari-nari, namun perlahan Ia mulai turun dari meja lalu beringsut masuk kekolong meja, lalu hanya terdengar sesenggukan dari kolong. Mungkinkah makhluk itu mulai lelah menggangguku, atau Ia sedang menyusun siasat lain.
Tak ada lagi suara tawa cekikin, hanya ada suara sesenggukan seperti orang menangis. Ku mulai berpikir realistis dalam keadaan genting seperti ini, ku atur napas lalu kusetel alunan ayat-ayat Al-Qur'an dari dalam komputerku, dengan suara nyaring melalui spiker kantor. Aku berpikir dengan begini mungkin mahkluk itu akan takut lalu berhenti menampakan diri mereka. Samar kudengar lalu suara tangis mulai menghilang. Aku merasa aman untuk saat ini, namun siapa sangka, ternyata ketenanganku hanya berlaku untuk 5 menit saja, hanya cukup untuk mengatur napas dan detak jantung.
Ternyata, lantunan yang kusetel berulang-ulang tidaklah membuahkan hasil, aku hanyalah manusia sombong dan angkuh yang hanya mengandalkan firman Allah tanpa mengamalkannya. Surah Al-Baqarah mengalun dengan indah, diiringi tiupan angin kencang yang menghentakan jendela dan pintu ruangan. Entahlah, hanya di sini saja angin itu mampir, atau juga sama dengan ruangan di seberang sana, tempat Doni berada. Aku hanya diam dalam ketakutan. Entah ini hanya mimpi, atau kenyataan, namun hanya satu pintaku, aku ingin keluar dari ruangan ini. Hanya itu.
Surah Al-Baqarah masih mengalun, angin pun masih setia mengiringi alunannya. Kudengar dari balik tembok ada yang mencakar dinding, lalu seketika hantaman palu terdengar berkali-kali, persis seperti orang yang sedang menukang. Suara semakin dekat, lalu seperti tepat di telinga kiriku. Lampu seketika padam, alunan ayat suci tak lagi kudengar, hanya ada gelap dan suara palu dihantamkan kedinding.
Sekilas terlintas bayangan wajah kedua orang tuaku, wajah mereka yang sedikit keriput, senyum menggurat didahi keduanya seolah mengatakan "Nak pulanglah". Yang terlintas dibenakku hanyalah bagaimana jika aku tiada dan mati konyol ditempat ini. Jauh sudah pikiranku, membayangkan keduanya yang sudah renta.
Gelap, sunyi, tak ada suara apapun disekiling. Bahkan jangkrik tak ingin muncul walau hanya sekedar menimbulkan suara. Hanya aku yang merasa tubuhku semakin mengecil dan menciut. Aku sudah mulai lelah, benar-benar lelah.
POV Doni
Lembur kali ini aku harus bersiap dengan segala penampakan yang ada, seperti malam-malam sebelumnya, segala jenis demit bermunculan tanpa ampun. Selagi tak saling mengusik satu sama lain, tak ada masalah. Namun entah kenapa malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Aku di buat begitu takut dengan kemunculan mereka.
Pukul 20.00 perutku begitu lapar, kebetulan Adit menawarkan aku untuk makan malam dan dia yang membeli nasi bungkus keluar. Dengan senang hati aku mau saja nitip nasi bungkus. Pekerjaanku juga masih begitu banyak. Selang 10 menit kepergian Adit Pak Ijal manager memanggilku untuk membantu mengerjakan pendataan di ruang officenya. Kantorku dengan ruang pak Ijal berjarak 500 meter dengan disekat ruang-ruang dan disekeliling ditanami pohon mangga.
Minimnya lampu di teras kantor membuat mataku sedikit harus dilebarkan untuk melihat jalan yang begitu gelap.
"Astaghfirullah", spontan aku mengucap ketika kakiku tersandung sesuatu, yang seperti tangan menyentuh ujung sepatuku. Ku lalui setiap sudut ruangan yang begitu sepi, 500 meter rasanya seperti jauh sekali, cuaca dingin berubah menjadi hawa panas.
Dari ruang area no smoking tempat parkirnya beberapa kepala kereta berjejer ku dapati sosok yang tengah sibuk membenahi bagian bawah kereta, sepintas sosoknya seperti karyawan OS, aku berjalan kearahnya hendak bertegur sapa, sepuluh langkah hampir mendekatinya tiba-tiba aku mundur perlahan, menjauh dan melupakan untuk menegurnya. Sosok itu berdiri dari kolong kereta dan tanpa kepala, lalu mengguyur tubuhnya dengan oli bekas, dengan mengeluarkan suara seperti sapi disembilih.
Akhirnya aku bisa sampai dan segara bertemu pak Ijal, aku sampai lupa untuk memberi tahu Adit bahwa aku sedang bersama pak Ijal. Kukirimkan pesan kepadanya untuk nanti segera mengambil nasi bungkus keruangannya, karena aku memang sudah sangat lapar. Pekerjaan yang begitu banyak membuat aku semakin lapar.
"Pak saya permisi dulu mau ambil nasi sama Adit, tadi saya titip nasi soalnya sama dia," Izinku pada pak Ijal
"oh iya silahkan, nanti kesini lagi ya" aku segera meninggalkannya.
Perjalananku menuju tempat Adit berada berjalan mulus, tak ada hambatan atau kemunculan para medi itu. Tapi yang anehnya ketika aku sampai ditempat Adit, kudapati Ia dengan wajah pucat pasi, Ia seperti melamun. Tapi untung saja ketika ditanya dia masih bisa menjawabku. Kupikir tak ada yang perlu di khawatirkan.
Aku meninggalkannya seorang diri, segera kembali ke Pak Ijal dan menyelesaikan pekerjaanku agar bisa segera pulang dan tidur dengan nyaman.
Namun tiba-tiba angin bertiup begitu kencang, pohon mangga bergoyang begitu kuat. Mataku sampai kelilipan oleh debu, lampu seketika padam. Aku panik namun mencoba untuk menenangkan diri sendiri dalam siatuasi yang sangat tidak di inginkan. Suara riuh angin begitu sombong hilir mudik ditelingaku. Bersamaan dengan suara angin terdengar langkah kaki dengan menggunakan sepatu high hels. Tubuhku meremang, menggigil tak karuan, ingin berlari dalam gelap, namun kaki seperti tertahan. Dalam hati hanya bisa mengucapkan nama Tuhan.
Jelas, sangat jelas terpampang sosok putih berambut panjang tergerai dengan mata merah menyala bergelantung dipohon mangga dengan posisi kepala dibawah. Berayun-ayun memainkan rambutnya yang kusut. Di gelapnya malam tanpa ada penerangan sedikitpun, Ia begitu nampak terlihat dengan gaun putihnya dan mata merah menyala. Aku ingat ketika kecil dulu, ustad mengajiki mengajarkan bahwa tidak ada yang lebih besar dari Allah, semua yang ada dimuka bumi ini adalah ciptaanNya. semua jin, hewan, tumbuhan dan manusia adalah milik Allah. Berlindunglah hanya pada Allah, tak ada yang perlu ditakuti selain takut hanya pada Allah.
Kuberanikan diri mengambil apa saja yang ada disekelilingku, batu adalah benda pertama yang kupegang dalam penglihatan yang minim. Dengan Bismillah kulempar kuntilanak itu dengan batu ditanganku.
Namun bukannya pergi Ia malah tertawa cekikikan terbang mendekatiku, begitu dekat, sampai wajahnya bertemu dengan wajahku. Hanya berjarak 2 senti saja. Lalu semuanya kembali gelap, hening, tak ada suara apapun. Malam ini membuatku benar-benar gila.
***
Kepala begitu sakit, suara kembali riuh, ada yang menepuk-nepuk pipiku dan memanggil namaku. "Adit, bangun, ayo bangun dit". Oh tidak sejak kapan makhluk itu tahu namaku. Ingin sekali aku membuka mata dan memastikan siapa yang memanggilku. Suaranya seperti aku kenal, seperti suara bapak, dan ya di iringi suara tangaisan ibu. Kenapa aku, apa yang terjadi padaku, aku mendengar semuanya tapi mataku sulit untuk dibuka. Apa aku sudah mati konyol?
Suara itu masih kudengar, semakin ramai, langkah kaki mondar mandir terdengar jelas, hingga suara decit pintu yang dibuka tutup aku tahu itu. Namun mataku tetap tak mau terbuka. Aku menyerah, mungkin aku sudah tiada, namun aku tak menyadari itu.
Tidak, aku bisa merasakan genggaman erat tangan ibu, menyentuh setiap jari jemariku, lalu ibu menciumnya berkali-kali. Aku tahu ini adalah tangan ibu. Ingin kubalas setiap kecupannya, tapi aku tak mampu.
Lalu tangan ibu kembali menyentuh dahiku, mengusapnya seperti hendak menidurkanku. Sangat damai, tapi aku tetap ingin bangun. Aku berusaha membuka mataku, menggerakkan jariku, lalu memeluk ibu.
Samar-samar mataku melihat sekeliling, mataku rabun, hanya ada bayangan yang berseliweran, lalu tubuh ibu menghambur memelukku erat, terisak tumpah air matanya.
"Ya Allah terima kasih anakku kembali padaku," ucap ibu berkali-kali
Ada banyak pertanyaanku, kenapa? apa yang terjadi?
Tiga hari setelah keluar dari rumah sakit aku begitu syok dengan cerita rekan kerjaku ketika kami lembur bersama. Aku ditemukan pagi hari dalam keadaan pingsan di wisma 13 dalam keadaan baju robek. Lalu di larikan kerumah sakit. Tubuhku juga memar disana sini. Dan hal serupa juga di alami Doni rekan kerjaku. Bedanya Doni hanya ditemukan dalam keadaan pingsan ketika malam hari saat lampu padam.
Kejadian demi kejadian yang di alami bukanlah mimpi. Semuanya begitu jelas teringat. Sampai menjadi kisah untuk anak cucuku nanti. Pengalaman yang hampir saja merenggut nyawaku.
Satu hal yang aku yakini, hidup ini sangat berdampingan dengan makhluk lainnya. Namun setiap makhluk hanya memiliki satu penciptanya yaitu Allah SWT, takutlah hanya pada Pencipta, Berlindunglah hanya padaNya.
#The End
